Ilustrasi pohon Ulin. (Dok. Wikimedia/redwood national park)
LENSAPANDAWA.COM – Lebih dari empat ribu orang telah menandatangani petisi di change.org yang berisi desakan terhadap pemerintah agar mengembalikan Pohon Ulin dan sembilan tanaman langka lain ke daftar tumbuhan yang dilindungi.
Petisi yang digagas oleh organisasi lingkungan Auriga Nusantara dan pegiat lingkungan Ragil Satriyo juga mendesak Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) merevisi Peraturan Menteri LHK P.106/2018 yang menjadi dasar pohon Ulin tak lagi dilindungi.
Ragil menuturkan alasannya membuat petisi agar publik mengetahui dan memahami pemerintah telah mengambil kebijakan yang salah. Kebijakan Menteri LHK Siti Nurbaya Bakar menerbitkan Permen KLHK P.106/2018 berpotensi membuat sepuluh tumbuhan langka, khususnya pohon Ulin bisa menjadi punah.
“Publik butuh tahu, butuh cerdas, dan dicerdaskan, terutama oleh otoritas pengambil kebijakan. Ada beberapa alasan atau argumen KLHK yang tidak bisa diterima oleh nalar, bahkan setelah mereka memberikan respon atas petisi tersebut sekitar 1 tahun lalu,” ujar Ragil kepada CNNIndonesia.com, Kamis (12/3).
Sepuluh tanaman langka itu adalah Palahlar Nusakambangan (Dipterocarpus littolaris), Palahlar Mursala (Dipterocarpus cinereus), Kokoleceran (Vatica bantamensis), Kayu Ulin (Eusideroxylon zwageri), Upan (Upuna borneensis), dan Damar Pilau (Agathis borneensis).
Selain itu tanaman yang juga sudah langka adalah Kayu Besi Maluku (Intsia palembanica), Medang Lahu (Beilschmiedia madang), Kempas Kayu Raja(Koompassia excelsa), dan Kempas Malaka (Koompassia malaccensis).
Ragil membeberkan 8 dari 10 jenis tumbuhan yang tak dilindungi dalam Permen LHK P.106/2018 memiliki tingkat keterancaman tinggi sebagaimana IUCN Red List. 5 dari 10 jenis tumbuhan itu juga bersifat endemik atau sangat terbatas sebarannya. Sedangkan 3 dari 5 endemik itu sangat terancam punah berdasarkan IUCN Red List.
Adapun 3 jenis yang berstatus sangat terancam punah itu, lanjut Ragil, diduga kuat tidak berada di konsesi kawasan hutan alam (IUPHHK-HA).
“Sehingga sangat dipertanyakan dasar dikeluarkannya dari daftar tumbuhan dilindungi,” ujarnya.
Lebih lanjut, Ragil mengaku heran pohon Ulin (Eusideroxylon zwageri) dikeluarkan dari daftar tumbuhan dilindungi. Dia tidak mengelak pohon Ulin masih terdapat di alam. Namun, dia mengingatkan waktu pertumbuhan atau regenerasi alami pohon Ulin sangat lambat. Situasi diperparah dengan tingginya ekploitasi.
“Bahkan anakan alaminya konon seringkali gagal tumbuh karena serangan hama atau serangga,” ujar Ragil.
Ragil membeberkan sejumlah pihak sejatinya tetap diperbolehkan untuk memanfaatkan kayu Ulin meski memiliki status dilindungi. Namun, dia berkata dengan status perlindungan diharapkan menjadi perhatian lebih bagi semua pihak dalam upaya pemanfaatan, pengawetan, dan perlindungannya.
“Sekarang kalau sudah tidak dilindungi, sedangkan kebutuhan kayu itu tinggi serta ekspliotasi terus terjadi, akan seperti apa keberadaannya ke depan? Itulah kenapa KLHK harusnya mencabut peraturan itu,” ujarnya.
“Dan lebih penting lagi merumuskan upaya konservasinya (melalui pengesahan dan penerapan RSRAK pohon langka). Bukan malah mengeluarkan dari daftar dilindungi,” ujar Ragil.
Di sisi lain, Ragil membeberkan terbitnya Permen LHK P.106/2018 menguntungkan pengusaha. Sebab, dia berkata penebangan pohon Ulin semakin intensif, baik secara legal atau ilegal.
“Ini kesempatan, mumpung, mungkin pikir mereka begitu. Secara pribadi saya tidak memiliki datanya. Namun ada beberapa kolega yang mengumpulkan fakta-fakta itu di lapangan,” ujar Ragil.
Ragil membeberkan penebangan pohon Ulin untuk diambil kayunya bukan hanya berdampak lingkungan. akan tetapi, dia berkata hal itu juga menyebabkan sumber daya genetik Indonesia berkurang atau bahkan hilang.
“Bisa juga itu berimbas pada dampak budaya atau sosial,” ujarnya.
Lebih dari itu, Ragil mengaku belum dapat memastikan langkah lanjutan jika Siti Nurbaya enggan merevisi kebijakan yang dibuatnya. Namun, dia berharap KLHK atau pihak terkait bisa membuka diskusi publik untuk memperjelas dasar-dasar kebijakan tersebut, terutama dengan melibatkan LIPI sebagai scientific authority.
Demikian berita ini dikutip dari CNNINDONESIA.COM untuk dapat kami sampaikan kepada pembaca sekalian.