Ilustrasi. (Istockphoto/ Dusanpetkovic)
LENSAPANDAWA.COM – Southeast Asia Freedom of Expression Network (SAFEnet) menggolongkan Indonesia berstatus siaga satu represi demokrasi di internet. Hal itu berkaca dari pemblokiran internet yang terjadi selama tiga kali pada 2019.
Executive Director SAFEnet Damar Juniarto menyatakan represi internet terdiri dari sensor informasi, pemidanaan ekspresi, dan serangan siber. Pemblokiran internet, ungkap dia, merupakan perluasan dari bentuk tradisional sensor.
Berdasarkan catatan jaringan pemerhati kebebasan berekspresi di dunia digital tersebut dalam kurun waktu 2017-2019, masyarakat sipil menjadi kelompok rentan yang mengalami serangan siber. Disusul jurnalis/media, aktivis, artis/budayawan/penulis, dan dosen/guru.
Ada pun jenis serangan digital seperti disinformasi, doxing, akun peniru, malware, hacking, DdoS Attack, Cyber Ammock, dan Spam Calls.
SAFEnet, dan juga Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Pers mengungkapkan pelbagai jenis represi di internet dengan tujuan membungkam suara atau kebebasan berekspresi yang ditemukan dalam kurun waktu lima tahun terakhir.
1. Doxing
Secara sederhana, doxing merupakan tindakan mempublikasikan informasi pribadi seseorang di media sosial dengan tujuan agar orang tersebut mendapat intimidasi. Doxing merupakan tindakan balas dendam yang telah muncul pada 1990-an yang disebut juga mengancam kebebasan pers.
LBH Pers mencatat kasus yang berkaitan dengan doxing. Contoh terbaru adalah peristiwa yang dialami wartawan detik.com terkait pemberitaan kegiatan Presiden RI Joko Widodo (Jokowi). Wartawan tersebut turut mendapatkan ancaman pembunuhan dari orang tak dikenal karena kegiatan jurnalistiknya.
Kasus lainnya yang mendapat sorotan publik adalah ketika Menteri Dalam Negeri (Mendagri) Tjahjo Kumolo menyebarkan informasi pribadi pengacara HAM dan Aktivis Papua Veronica Koman karena mengkritik pemerintahan Jokowi terkait vonis dua tahun penjara Basuki Tjahaja Purnama alias Ahok.
2. Peretasan (Hacking)
Peretasan bukan barang baru di Indonesia. Dalam kondisi belakangan ini, peretasan sering didapati mereka yang kritis terhadap penguasa. Biasanya peretasan selalu diikuti dengan ancaman teror.
Salah satu contoh kasus adalah terkait dengan penolakan RUU KPK oleh sejumlah unsur masyarakat sipil.
Guru Besar Fakultas Kehutanan Institut Pertanian Bogor (IPB) Profesor Hariadi Kartodihardjo menuturkan dirinya dan sejumlah rekan yang tergabung dalam akademisi tolak revisi UU KPK mengalami teror berupa panggilan telepon dari nomor tidak jelas.
Hariadi mengatakan rekannya yang merupakan Dosen Fakultas Ekonomi Universitas Gadjah Mada (UGM) Rimawan mengalami peretasan pada akun WhatsApp-nya. Rimawan, kata dia, mengirim pesan bernada mendukung revisi UU KPK di dalam grup akademisi tolak revisi UU KPK.
Terakhir yang masih segar dalam ingatan adalah kasus peretasan nomor telepon seluler milik Peneliti kebijakan publik dan pegiat advokasi legislasi Ravio Patra.
Akun WhatsApp Ravio dibajak dengan mengirimkan pesan berantai bernada provokasi untuk melakukan penjarahan nasional.
3. Akun Peniru
SAFEnet mengungkapkan akun-akun peniru (imposter/ impersonator) dibuat dengan maksud dipakai untuk mengecoh, menipu dengan modus minta uang, hingga menjerumuskan orang agar menjadi sasaran persekusi.
Kejadian ini pernah dialami oleh Maria Catalina Sumarsih, ibunda Benardinus Realino Norma Irawan, mahasiswa Universitas Atma Jaya yang tewas saat Tragedi Semanggi I. Di mana akun facebook penggerak Aksi Kamisan itu ada yang meniru.
4. Disinformasi (Hoaks)
Kasus ini pernah dialami fotografer paruh waktu bernama Muhamad Yoga Herlangga yang dilaporkan atas perbuatan menginformasikan berita bohong di media sosial.
SAFEnet menuturkan Herlangga mendapatkan kiriman audio berupa pesan suara dalam salah satu grup WhatsApp. Isi dari pesan suara tersebut adalah informasi mengenai tujuh kontainer kotak surat suara di Tanjung Priok yang sudah dicoblos.
Atas informasi tersebut, Herlangga menyebarluaskan pesan suara yang diperolehnya ke sebuah grup facebook yang beranggotakan sekumpulan orang dengan perbedaan pilihan politik.
Kasus ini bermuara ke meja hijau di mana Herlangga diancam melanggar Pasal 27 Ayat (3) Undang-undang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE).
SAFEnet pun mengajukan pendapat hukum pihak yang merasa berkepentingan atau amicus curiae dalam perkara tersebut.
5. Perundungan
Perundungan di internet pernah didapat Pilot Lion Air Capt Alisudarso Rasidi. Ia mengalami trauma mendalam karena dituding warganet terkait pemberian izin kepada tokoh #2019GantiPresiden Neno Warisman dalam menggunakan mikrofon atau public announcement.
Bahkan, informasi pribadinya sampai ditelisik warga net dan disebarluaskan. (ryn/fea)