Dilema Beli Produk di Medsos karena Terpengaruh ‘Influencer’

0
173
Dilema Beli Produk di Medsos karena Terpengaruh 'Influencer'Ilustrasi belanja online. (Foto: CNN Indonesia/Bisma Septalisma)

LENSAPANDAWA.COM – Pengamat Teknologi Informasi Dan Komunikasi dari CISSReC, Pratama Persadha mengatakan influencer sudah menjadi bagian penting dalam strategi pemasaran suatu produk.

Menurut Pratama, fenomena ini karena perkembangan digitalisasi yang saat ini telah berkembang pesat sehingga ‘agak’ mempengaruhi perilaku masyarakat dalam memberi produk.

Penelitian Nielsen pada 2014 mengeluarkan hasil survei bahwa sekitar 90 persen orang akan melakukan pembelian barang berdasarkan rekomendasi dari teman atau kerabat. Sekitar 72 persen calon pembeli akan melakukan pencarian terlebih dahulu di internet.

Dalam penelusuran ini, Pratama mengatakan calon pembeli akan menemukan berbagai influencer yang aktif mempromosikan suatu produk.

Promosi ini membuat konsumen sering latah dengan yang dipromosikan oleh influencer tanpa melakukan pencarian lebih lanjut terkait izin atau legalitas produk.

“Melakukan pencarian secara online, baik di YouTube, Facebook, Instagram dan Twitter. Biasanya para influencer produk banyak bermain di YouTube dan Instagram,” kata Pratama kepada CNNIndonesia.com, Selasa (18/2).

Pratama mengatakan survei Nielsen tersebut sangat relevan dengan kondisi dan situasi sepanjang enam tahun ke belakang. Ia mengatakan pertama-tama konsumen akan bertanya suatu produk yang akan dibeli kepada kawannya.

Selanjutnya, si kawan yang akan melakukan pencarian secara online, baik di YouTube, Facebook, dan Instagram dan Twitter. Dari pencarian ini ia akan bertemu dengan berbagai influencer yang mempromosikan berbagai produk.

Lebih lanjut, ia baru akan menyimpulkan rekomendasinya berdasarkan informasi yang ia dapatkan, termasuk iklan dari influencer.

“Biasanya para influencer produk banyak bermain di YouTube dan Instagram,” ucap Pratama.

Influencer manfaatkan kekuatan media sosial

Pratama lebih lanjut mengatakan, setiap platform media sosial mempunyai karakteristik tersendiri. Instagram dan YouTube sangat kuat digunakan oleh influencer individu dalam pemasaran atau branding produk.

Sedangkan Twitter dan Facebook sangat kuat digunakan untuk branding politik. Facebook dan Instagram sendiri memiliki fitur pemasaran yang sangat kuat yaitu ads [fitur iklan di media sosial].

“Para marketer Facebook dan Instagram bisa menargetkan sebuah konten tertentu ke pasar tertentu berdasarkan umur, lokasi dan interest lainnya” tutur Pratama.

Pratama menjelaskan Pemilihan Presiden Amerika Serikat 2016 menjadi bukti betapa kuatnya fitur Facebook ads. Ia menduga tim kampanye Donald Trump mengirimkan konten hoaks dan disinformasi yang tepat sasaran dengan menggunakan fitur Facebook Ads.

“Tim Donald Trump mengirimkan banyak konten “hoaks” yang diiklankan dengan FB ads dan menyasar warga Amerika Serikat bagian Selatan,” ucap Pratama.

Contoh menarik lainnya adalah influencer bahkan bisa mendorong pemasaran sebuah warung makan dengan efektif. Pratama mengisahkan kanal YouTube Next Carlos melakukan ulasan terhadap sebuah warung sop iga di daerah Karawaci.

“Dua tahun berikutnya warung sop iga itu menjadi besar dan menurut pengakuan karena diulas oleh Next Carlos,” ujar Pratama.

[Gambas:Video CNN]

Namun sebaliknya, beli produk melalui belanja online dampak terpengaruh influencer tak selalu tepat. Salah satu contoh kasus losion pemutih abal-abal yang sempat dapat kritik dari Dokter Kulit & Kelamin, Listya Paramita.

Listya menilai losion tersebut berdampak negatif bagi kulit pemakai. Korban yang juga pasien Listya harus mengalami gurat merah dan selulit di beberapa bagian tubuhnya setelah membeli losion bersteroid tersebut melalui online yang dipromosikan oleh akun-akun influencer. Ini baru satu, ‘mungkin’ masih banyak kasus lain yang tidak terungkap.

Menanggapi fenomena itu, Kementerian Komunikasi & Informatika (Kemenkominfo) sampai harus mempertimbangkan membuat aturan yang spesifik melarang influencer atau akun media sosial untuk mempromosikan produk pemutih abal-abal, obat, dan makanan yang tak mendapat izin dari Badan Pengawasan Obat & Makanan (BPOM).

Aturan itu dibuat agar para influencer tidak sembarangan mempromosikan suatu produk dan obat di jejaring media sosial.

“Ke depan influencer itu kan makin luas cakupannya dan beragam. Kalau dibutuhkan dan dampaknya makin luas kami pertimbangkan untuk membuat aturan,” tutur Plt Kepala Biro Humas Kemenkominfo Ferdinandus Setu, Jumat (14/2).

Demikian berita ini dikutip dari CNNINDONESIA.COM untuk dapat kami sampaikan kepada pembaca sekalian.

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here