Pengamat: Putusan MA terkait BPJS belum adil

0
162
Pengamat: Putusan MA terkait BPJS belum adilPengamat hukum tata negara,Perry Rahendra Sucipto. ANTARA/Nikolas Panama

LENSAPANDAWA.COM – Putusan Mahkamah Agung yang membatalkan kenaikan iuran BPJS Kesehatan belum adil, kata pengamat hukum tata negara Universitas Maritim Raja Ali Haji (UMRAH) Perry Rahendra Sucipto.

"Pertama kami memberi apresiasi kepada MA terhadap pembatalan Peraturan Presiden Nomor 75/2019, karena kenaikan iuran BPJS mencederai keadilan bagi masyarakat. Namun dalam kacamata keadilan hukum, putusan MA itu pun belum adil," ujarnya di Tanjungpinang, Rabu.

Dalam Perpres 82/2018, besaran iuran peserta mandiri antara lain, untuk kelas III sebesar Rp25.500 per orang/bulan, kelas II sebesar Rp51.000 per orang/bulan, dan kelas I sebesar Rp80.000 per orang/ bulan.

Sementara dalam aturan yang sudah dibatalkan MA, rincian iuran peserta mandiri yakni kelas III sebesar Rp42.000 per orang/bulan, kelas II sebesar Rp110.000 per orang per bulan, dan kelas I sebesar Rp160.000 per orang/bulan.

"Masyarakat yang sudah membayar sejak bulan sebelumnya sudah didasarkan pada Perpres 75 Tahun 2019, dan itu masih berlaku, dan sah. Maka, perubahan ini akan berlaku sejak pengucapan putusan,” ucapnya.

Perry yang juga peneliti Laboraturium Hukum UMRAH mengatakan putusan MA yang disampaikan salah satunya oleh Kepala Biro Hukum dan Humas MA Abdullah disambut bahagia oleh peserta BPJS. Namun Perpres 75/2029 itu mulai berlaku 27 Februari 2020 atau saat hakim MA menetapkan putusan itu.

Berdasarkan putusan itu, maka iuran yang dibayar oleh peserta BPJS sebelum putusan MA itu ditetapkan tidak dikembalikan kepada masyarakat. Kebijakan itu, menurut dia tidak bisa diterima oleh akal sehat masyarakat khususnya peserta BPJS.

Ia pun mengutip pernyataan salah satu filsuf, bahwa tugas negara untuk menegakkan hukum akan sama saja dengan sekelompok pencuri yg melanggar hukum, bilamana tidak mengapresiasi nilai keadilan.

"Cicero pernah berujar 'Salus Populi Suprema Lex Esto' yang artinya adalah kesejahteraan rakyat merupakan hukum tertinggi," katanya.

Para pengambil kebijakan sudah harus menerjemahkan keadilan bagi masyarakat luas tersebut dalam skema hukum terkait pengembalian uang masyarakat.

Pemerintah dan DPR perlu segera duduk bersama untuk menuntaskan hal tersebut untuk mewujudkan keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia

"Negara dalam melahirkan suatu kebijakan jangan hanya mengedepankan semangat legalitas, tapi juga menghadirkan semangat legitimitas, dimana di dalam legitimitas tersebut ada keabsahan secara hukum (legalitas), tetapi juga hal tersebut merupakan kewajaran yang diterima oleh akal sehat masyarakat secara luas," tuturnya.

Warga Tanjungpinang menyambut baik putusan MA tersebut. Mereka mempertanyakan kepada BPJS Kesehatan apakah iuran yang dibayar melalui potongan otomatis di rekening bank mulai Januari-Maret dikembalikan sesuai dengan putusan MA tersebut.

Sejumlah karyawan BPJS Kesehatan Tanjungpinang mengatakan belum menerima salinan putusan itu, dan belum mendapatkan arahan dari pusat.

"Kami sudah tahu, tetapi mereka aneh, malah tidak tahu," kata Anita, salah seorang peserta BPJS Tanjungpinang.

Hal senada dikatakan Irma, peserta BPJS yang menuntut agar uang iuran yang dipotong secara otomatis di bank dikembalikan sesuai ketentuan yang berlaku.

"Kalau putusan itu berlaku mulai 27 Februari 2020, maka seharusnya mulai Maret 2020 tidak dipotong sebesar Rp160.000, melainkan Rp80.000. Ini nilainya besar, karena anggota keluarga kami cukup banyak," tegasnya.

Kepala BPJS Tanjungpinang Agung yang dikonfirmasi terkait persoalan itu melalui telepon selulernya tidak merespons pertanyaan ANTARA.

Demikian berita ini dikutip dari ANTARANEWS.COM untuk dapat kami sampaikan kepada pembaca sekalian.

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here