Tangkapan layar sajian materi diskusi daring “Inovasi Baru Formula Pembasmi Organisme Pelapuk Cagar Budaya dengan Minyak Atsiri” diselenggarakan Balai Konservasi Borobudur, Senin (11/5/2020). (ANTARA/Hari Atmoko)
LENSAPANDAWA.COM – Balai Konservasi Borobudur menerapkan hasil mikroemulsi minyak sereh wangi untuk konservasi Candi Borobudur di Kabupaten Magelang, Provinsi Jawa Tengah sebagai bagian dari pengembangan pemanfaatan berbagai bahan alam untuk perawatan cagar budaya itu.
"Aplikasi mikroemulsi sereh wangi memilik beberapa keunggulan, selain mematikan lumut dan menghambat pertumbuhan lumut baru dan ramah lingkungan, karena kadarnya 10 persen dengan pelarut air," kata pengkaji BKB Leliek Agung Haldoko dalam diskusi daring BKB dengan tema "Inovasi Baru Formula Pembasmi Organisme Pelapuk Cagar Budaya dengan Minyak Atsiri" yang diikuti di Magelang, Senin.
Pembicara utama dalam diskusi lanjutan secara virtual diselenggarakan BKB dengan pemantik Nahar Cahyandaru (BKB) itu, yakni Mohamad Habibi (pengkaji BKB) dan Dyah Yekti Indrajati (pengusaha produksi minyak atsiri).
Jika kena kulit saat digunakan petugas untuk melakukan konservasi cagar budaya, kata dia, hasil mikroemulsi minyak sereh tidak berpengaruh, seperti gatal, sedangkan baunya harum khas sereh.
Ia menyebut penelitian penerapan mikroemulsi dari minyak atsiri, salah satunya sereh, sebagai wujud komitmen BKB dalam mengembangkan pemanfaatan berbagai bahan alam yang aman untuk konservasi cagar budaya, konservator, dan lingkungan.
"Mulai Tahun 2021, akan kita coba aplikasikan secara bertahap minyak sereh wangi (mikroemulsi) di struktur Candi Borobudur," kata dia.
Sejak beberapa waktu terakhir, BKB meneliti mikroemulsi minyak atsiri dari sereh wangi di laboratorium lembaga di bawah Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan yang berkantor di kawasan Candi Borobudur tersebut.
Penelitian di laboratorium BKB, antara lain menyangkut perbandingan yang dianggap paling tepat untuk konsetrasi minyak dan air, serta pendukung lainnya, pengujian di batuan lepas, batuan polos, dan relief, serta pemakaian dengan cara penyemprotannya.
Penelitian dan penggunaan berbagai bahan alam untuk konservasi cagar budaya Candi Borobudur ditempuh BKB setelah pada 2008 mendapat teguran dari Badan PBB untuk Pendidikan, Ilmu Pengetahuan, dan Kebudayaan (UNESCO) terkait dengan penggunaan bahan kimia dalam konservasi batuan Borobudur sebelumnya.
Mohamad Habibi mengemukakan penerapan mikroemulsi menghasilkan ukuran partikel minyak sereh wangi yang lebih kecil sehingga lebih efektif untuk konservasi cagar budaya.
Penelitian berbagai bahan alam untuk konservasi Candi Borobudur dilakukan BKB sejak 2014 hingga saat ini.
"Kita buat formula untuk memudahkan untuk penggunaan. Minyak atsiri sifatnya menguap, dipengaruhi lingkungan. Penelitiannya juga menyangkut waktu kontak antara minyak atisiri dengan target. Kondisi dan jenis batuan juga memengaruhi," katanya.
Ia menyebut berbagai bahan alam yang menjadi objek kajian untuk konservasi cagar budaya itu, antara lain minyak nilam, temu lawak, cengih, sereh, pala. Berbagai bahan alam itu untuk mengatasi pelapukan batuan cagar budaya yang disebabkan, antara lain lumut, ganggang, dan jamur.
Pada diskusi tersebut, Habibi bersama petugas Laboratorium BKB Widyo Purwoko mendemonstrasikan secara daring proses penggunaan minyak atsiri untuk konservasi batuan, sedangkan sejumlah peserta, seperti dari Balai Pelestarian Cagar Budaya (BPCB) Jawa Timur dan Gorontalo berbagi informasi hasil penelitian penggunaan bahan-bahan alam untuk konservasi sejumlah cagar budaya di daerah masing-masing
Dyah Yekti Indrajati yang kini pebisnis produk-produk PT Natural Nusantara Yogyakarta itu, menyatakan sewaktu kuliah di Universias Islam Indonesia (UII) Yogyakarta pada 2014, melakukan penelitian tentang manfaat daun cengkih untuk mengatasi pelapukan batuan Candi Borobudur.
"Minyak atsiri dapat diambil dari berbagai bagian tanaman, seperti daun, bunga, buah, biji, batang, kulit, dan akar, sedangkan manfaat minyak atsiri, untuk bisnis dan ilmu pengetahuan," katanya.
Ia juga mengemukakan pentingnya pengembangan penggunaan minyak atsiri memperhatikan kuantitas persediaannya.
"Paling penting dalam pengembangan minyak atisiri adalah kuantitas yang cukup karena memang tidak semua daerah menghasilkan jenis minyak atsiri yang sama, karena keanekaragaman minyak atsiri. Untuk Jawa, kalau untuk stok Indonesia masih kurang. Untuk kontinuitas harus juga dikaji," katanya.
Demikian berita ini dikutip dari ANTARANEWS.COM untuk dapat kami sampaikan kepada pembaca sekalian.