Ilmuwan Ragukan Penelitian Kina Tak Efektif Obati Corona

0
150
Ilmuwan Ragukan Penelitian Kina Tak Efektif Obati CoronaHydroxychloroquine, obat rematik, menjadi salah satu obat yang diujicoba untuk virus corona. (AFP/GEORGE FREY)

LENSAPANDAWA.COM – Puluhan ilmuwan mengungkapkan keraguan atas penelitian yang menyatakan hydroxychloroquine dan chloroquine tidak bermanfaat untuk mengobati pasien Covid-19 (corona).

Sebelumnya penelitian besar-besaran itu diterbitkan jurnal medis Lancet dan membuat WHO menghentikan uji klinis obat antiviral ini.

Hydroxychloroquine, obat rematik, menjadi salah satu obat yang diujicoba untuk virus corona antara lain karena dukungan dari tokoh-tokoh terkemuka seperti Presiden AS Donald Trump.

Namun, para peneliti pada Jumat (28/5) tetap mendukung kesimpulan penelitian mereka bahwa hydroxychloroquine dan cloroquine, obat antimalaria, tidak memperlihatkan manfaat bahkan meningkatkan kemungkinan pasien meninggal.

Penelitian yang dipimpin oleh Mandeep Mehra dari Rumah Sakit Brigham di Amerika Serikat, itu mengkaji data 96 ribu pasien dari ratusan rumah sakit antara Desember dan April dan membandingkannya dengan pasien dalam satu kelompok kontrol.

Penelitian yang diterbitkan pada 22 Mei ini sejalan dengan hasil beberapa penelitian sebelumnya dengan skala lebih kecil bahwa hydroxchloroquine tidak efektif dalam mengatasi Covid-19 dan bahkan kemungkinan lebih berbahaya dari pada tidak mengobati penyakit ini.

Kedua obat itu bisa berpotensi menimbulkan efek samping, terutama aritmia jantung.

Beberapa hari setelah hasil penelitian terbit, WHO menghentikan sementara penggunaan obat dalam Uji Coba Solidaritas, yang mendorong ratusan rumah sakit di berbagai negara mengikutsertakan pasien dalam uji coba pengobatan Covid-19.

“Langkah ini membuat banyak peneliti di berbagai negara mempelajari studi yang dipertanyakan itu secara lebih rinci,” bunyi surat terbuka para ilmuwan, Kamis (28/5).

Surat itu juga mengatakan hasil pengamatan lebih rinci ini menimbulkan “keraguan akan integritas metodologi dan data”.

Salah satu yang dipertanyakan adalah minim informasi terkait negara dan rumah sakit yang memberi pasokan data oleh satu perusahaan analisis data bernama Surgisphere yang berkantor pusat di Chicago.

Masalah lain yang digarisbawahi adalah ketidakcocokan data Australia karena angka kematian yang dicatat rumah sakit dalam penelitian itu lebih besar dari pada data resmi pemerintah Australia.

Dalam pernyataan tertulis, Lancet mengatakan telah menerbitkan perbaikan atas ketidakcocokan data tersebut karena satu rumah sakit mengaku berada di benua Australia dan Asia padahal seharusnya hanya ada di benua Asia.

“Lancet mendorong perdebatan ilmiah dan akan menerbitkan tanggapan pada penelitian ini, bersamaan dengan tanggapan dari peneliti, di jurnal berikut,” ujar pernyataan yang menambahkan bahwa kesimpulan penelitian itu tidak berubah.

Sangat diragukan

Mehra juga mengeluarkan pernyataan bahwa para peneliti studi itu telah melakukan kajian akademik atas penelitian mereka dan dilakukan “tanpa ada rangkaian data yang besar, ketat dan tersedia secara publik tentang hydroxychloroquine atau chloroquine”.

“Seperti yang diungkap dalam studi itu, para peneliti menggarisbawahi pentingnya dan menghargai uji klinis random dan mengatakan bahwa uji klinis itu sangat penting sebelum bisa mengambil kesimpulan,” ujarnya.

“Akan tetapi, hasil itu tidak bisa didapat dari uji klinis sebelum musim panas mendatang, dan mengingat situasi yang mendesak, memanfaatkan rangkaian data yang ada merupakan jalan penengah.”

Juru bicara WHO mengatakan kesimpulan kajian komprehensif terhadap obat-obatan itu akan bisa didapatkan pada pertengahan Juni mendatang.

Di antara penandatangan surat yang mempertanyakan penelitian itu adalah pakar klinis, epidemiologi dan peneliti lain dari berbagai belahan dunia.

Francois Balloux dari University College London memandang bahwa sudah menjadi “tugasnya” untuk membubuhkan namanya dalam meminta jawaban atas pertanyaan-pertanyaan terkait studi itu dan transparansi yang lebih besar.

“Saya sangat meragukan manfaat pengobatan CQ/HCQ untuk Covid-19, dan tidak sabar drama ini berakhir,” bunyi cuitannya di Twitter.

“Meski demikian, saya memandang “integritas penelitian” tidak bisa hanya diharuskan ketika hasilnya tidak mendukung pendapat awal kita.”

Surat ini juga ditandatangani oleh peneliti Prancis Phillipe Parola, rekan dari profesor Didier Raoult, yang dipandang sebagai pendukung utama hydroxychloroquine dan dikritik keras terkait metodologi penelitian.

Krisis virus corona memberi tekanan besar pada sistem penerbitan karya ilmiah karena begitu banyak penelitian yang dihasilkan dan membuat proses kajian penelitian oleh ilmuwan lain dipercepat. (yns)

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here