Wajah Otomotif Jakarta, Antara Macet dan Nutrisi Ekonomi

0
163
Wajah Otomotif Jakarta, Antara Macet dan Nutrisi EkonomiMacet di Jakarta. (CNN Indonesia/Adhi Wicaksono)

LENSAPANDAWA.COM –

Jakarta, kota tonggak sejarah industri otomotif Indonesia, menampung puluhan juta kendaraan pendatang setiap hari. Arus kendaraan itu ibarat aliran darah dan nutrisi yang terus bikin gemuk ibu kota.

Jakarta adalah jantung perekonomian negeri, pusat perkantoran, dan aktivitas pemerintahan. Saban hari jalan-jalan Jakarta sesak dikunjungi kendaraan warga pencari rupiah dari kota-kota pinggiran seperti Bogor, Depok, Tangerang Selatan, dan Bekasi (Bodetabek).

Hiruk pikuk Jakarta tergambarkan dari data populasi kendaraan yang dimiliki Polda Metro Jaya. Pada 2018 jumlah pengesahan STNK mobil penumpang, mobil bus, mobil barang, dan sepeda motor di Jabodetabek sebanyak 19.996.183 kendaraan. Itu naik dari 2017 sejumlah 18.967.738 unit.

Pengesahan STNK yang menunjukkan seberapa banyak populasi kendaraan dari Jakarta yang diizinkan beroperasi terus meningkat dari tahun ke tahun. Sebagai contoh pada 2012 pengesahan STNK kendaraan hanya 14.618.313 unit.

Sementara itu Korps Lalu Lintas Polri pernah mengungkap data menurut Badan Pusat Statistik (BPS) bahwa jumlah kendaraan di Indonesia per 2018 tumbuh menjadi 146.858.759 unit. Itu bertambah 9.646.941 unit dari catatan pada 2017 sebanyak 137.211.818 unit.

Macet Jakarta

Guru Besar Transportasi Universitas Gadjah Mada Danang Parikesit mengatakan kepadatan kendaraan di Jakarta sudah terjadi sejak lebih dari 10 tahun silam. Ia menyebut demikian setelah melihat data rata-rata kecepatan kendaraan di jalan raya Jakarta.

Menurut Danang sejak 10 tahun lalu rata-rata kecepatan kendaraan menurun menjadi di bawah 20 km per jam, yakni sekitar 12-14 km per jam.

“Kalau di bawah 20 km per jam sudah mulai congested [padat] jalanan,” kata Danang.

Kepadatan kendaraan di jalan raya dikatakan bukan hanya disebabkan jumlah unit yang terus meningkat. Penyebab lainnya disebut karena pemukiman warga makin jauh sehingga menambah jarak perjalanan dan belum maksimalnya moda transportasi massal.

Kondisi seperti itu dikatakan membuat banyak masyarakat mengandalkan kendaraan pribadi sebagai alat mobilisasi sehari-hari.

Sejarah Otomotif dari Jakarta

Jakarta merupakan magnet kendaraan sejak awal Abad ke-20. Menurut buku Sejarah Mobil dan Kisah Kehadiran Mobil di Negeri Ini karya James Luhulima, bisnis mobil di Hindia Belanda (sekarang Indonesia) sudah mulai bergulir sejak 1910-an.

Perusahaan importir mobil seperti NV Velodrome, Verwey & Lugard, JA Berkhemer, dan Fuchs & Rens pada medio tersebut tumbuh pesat di kota-kota besar Indonesia seperti di Jakarta, Surabaya, Bandung, Semarang, Yogjakarta, dan Medan.

Mobil pertama di Indonesia adalah Benz Victoria Phaeton yang dibeli Sultan Soerakarta (sekarang Solo) Pakoe Boewono X pada 1894, namun pabrik otomotif pertama di Indonesia berdiri di Jakarta.

General Motors (GM) mendirikan pabrik perakitan Chevrolet di Tanjung Priok, Sunter, Jakarta Utara pada 1920 dan diperbesar pada 1938. Kala itu GM berinisiatif merakit mobil di Indonesia saat semua mobil masih diimpor utuh atau completely build up (CBU) dari luar negeri.

Dulu jalan-jalan Jakarta sempat ramai diisi mobil bermesin pembakaran dalam merek legendaris Eropa dan Amerika seperti Albion, Berliet, British Daimler, Buick, Cadillac, dan Charron. Ada juga Chevrolet, Darracq, Delaunay Bellevelle, Fiat, Ford, Mercedes, Minervette, Oldsmobile, Orient, Oryx, Panhard Levassor, Renault, Reo, sampai Spyker.

Selain mobil dengan mesin pembakaran dalam, mobil mesin uap yakni Serpollet, Locomobile, dan White Steam Car, serta mobil dengan motor listrik De Dion Bouton juga sempat beredar di Jakarta.

Mobil-mobil AS dan Eropa sempat berjaya, namun ceritanya berubah setelah agresi militer Jepang. Saat Jepang menduduki Indonesia, iklim bisnis otomotif mulai berubah.

Singkat cerita pada 1969 pemerintah Indonesia merilis aturan pembuat mobil dari luar negeri harus mendirikan Agen Tunggal Pemegang Merek (ATPM) jika ingin memasarkan produk.

Pada tahun yang sama aturan direspons dengan berdirinya Udarimex sebagai pemegang merek Holden dari Australia. Kemudian ada Astra Internasional yang didirikan Wiliam Suryadjaja.

Bisnis Astra ini di dunia otomotif diawali dengan menyuntikkan dana ke pabrik eks GM yang sudah diakuisisi pemerintah. Kemudian Astra mengubah namanya menjadi Gaja Motor (Gaya Motor). Produk pertama yang dirakit Gaya Motor adalah truk Chevrolet dan selanjutnya merek Toyota.

Pada 1970 sejumlah ATPM bermunculan, yakni Garmak Motor (Chevrolet), Star Motor (Mercedes-Benz), dan pada 1971 Imora Motor (Honda), Toyota Astra Motor (Toyota), serta Garuda Mataram Motor (Volkswagen).

Seiring waktu mobil-mobil AS dan Eropa kian pudar, dominasinya di jalan hanya sampai medio 1960-an kemudian mulai surut dan berangsur hilang pada 1970-an. Keberadaannya digantikan mobil merek Jepang yang masih eksis sampai saat ini.

Berpuluh-puluh tahun berlalu, saat ini hampir semua merek mobil dan motor memiliki pabrik atau kantor pusat di Jakarta.

Penjualan Kendaraan di Jakarta

Sejumlah Agen Pemegang Merek (APM) mengakui Jakarta dan sekitarnya masih berperan penting bagi bisnis otomotif Indonesia. Penjualan terbesar secara nasional masih disumbang Jabodetabek yang mencapai 35-40 persen setiap tahun.

Pada tahun lalu penjualan motor baru di Indonesia bertambah 6.487.460 unit berdasarkan data data wholesales (penjualan dari APM ke dealer) Asosiasi Industri Sepeda Motor Indonesia (AISI).

Sedangkan Gabungan Industri Kendaraan Bermotor Indonesia (Gaikindo) merekam penjualan mobil tahun lalu secara wholesales mencapai 1.030.126 unit, sementara ritel lebih tinggi sedikit, yakni 1.043.017 unit.

Ekonom Institute for Development of Economics and Finance (Indef) Bima Yudhistira menuturkan jutaan kendaraan yang mendatangi Jakarta setiap hari bikin macet. Namun hal itu disebut tidak melulu harus dinilai negatif.

Pergerakan manusia setiap hari dengan kendaraannya dianggap punya sisi positif meningkatkan taraf perekonomian.

“Bisa dibilang populasi kendaraan di Jakarta saat ini mungkin lebih banyak dari jumlah manusianya. Tapi ini memberi kontribusi dari perekonomian,” kata Bima melalui sambungan telepon, Minggu (21/6).

Ada beberapa turunan mengapa akhirnya kendaraan-kendaraan di Jakarta berdampak ke perekonomian baik secara langsung atau tidak langsung. Secara tidak langsung dikatakan dapat dilihat dari pertumbuhan kendaraan membuat suatu daerah semakin kaya melalui penerapan pajak.

Pajak terkait kendaraan mulai dari tarif Bea Balik Nama Kendaraan Bermotor (BBNKB) yang nilainya kini 12,5 persen. Kemudian terdapat pajak tahunan kendaraan yang wajib dibayar setiap tahun.

Dampak secara langsung, dijelaskan Bima, banyak pihak memanfaatkan kondisi dengan mendirikan bengkel, bisnis jual beli, hingga pabrik kendaraan. Selain menjadi sumber pendapatan, ini juga meningkatkan lapangan pekerjaan bagi masyarakat luas.

Hal lainnya bisa terlihat dari pengguna mobil yang menggunakan jalan bebas hambatan, kemudian tumbuh bisnis cuci kendaraan, serta lokasi penyewaan lahan parkir.

“Jadi kaitannya dengan perekonomian, banyak sekali turunannya. Jadi memang ada kontribusi dari sektor otomotif yang sangat besar,” kata Bima.

(ryh/fea)

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here