Menilik Jargon QR Code Tangkal Penularan Corona di Tiga Kota

0
158
Menilik Jargon QR Code Tangkal Penularan Corona di Tiga KotaDi Yogyakarta, pengunjung diminta untuk memindai kode QR untuk memasuki kawasan Malioboro. (CNN Indonesia/Tria)

LENSAPANDAWA.COM –

Pemindaian QR code atau kode QR diterapkan di sejumlah kota dan pusat perbelanjaan di beberapa kota dan disebut bakal membantu melacak penyebaran virus corona.

Setidaknya, aturan ini diberlakukan tiga kota, Bandung, Yogyakarta, dan provinsi DKI Jakarta. Namun, efektifkah penggunaan kode QR ini untuk menghalau penularan Covid-19?

Pasalnya, pada kasus, QR code yang diminta untuk dipindai pengunjung hanya terhubung dengan formulir isian Google Form.

Pemerintah kota (pemkot) Bandung mewajibkan mal membuat pemindaian kode QR bagi pengunjung. Pemkot Yogyakarta juga menyiapkan kode QR yang mesti dipindai pengunjung Malioboro. Sementara di DKI Jakata, beberapa mal sudah menyediakan kode QR serupa.

Apa itu QR code?

Sebelum lebih jauh, pertama-tama kita kenali dulu apa itu kode QR. QR merupakan kependekan dari kata Quick Response atau respons cepat.

Kode QR berbentuk kotak berlatar putih berisi titik-titik dengan pola tertentu. Jika dipindai, titik-titik ini digunakan untuk menyimpan data.

Umumnya, saat ini titik-titik itu bakal menghubungkan mesin pemindai dengan URL atau alamat situs tertentu. Mesin pemindai ini bisa berupa kamera di ponsel. Belakangan, QR code juga marak digunakan sebagai perantara pembayaran.

Fungsi dan cara kerja QR code sebenarnya serupa dengan barcode. Namun, QR code bisa menyimpan data lebih banyak. Selain itu, QR code bisa dipindai dari sudut manapun. Tak seperti barcode yang hanya bisa dipindai tepat didepan kode.

Selain itu, kode QR bisa dipindai di kertas dan layar ponsel. Sementara barcode hanya bisa dipindai jika tercetak di benda fisik.

Setelah melihat fungsi kode QR, menjadi pertanyaan bagaimana penggunaan kode QR ini pada mal dan tempat umum di Indonesia. Berikut ulasan berdasarkan pantauan CNNIndonesia.com di tiga kota, Jakarta, Bandung, dan Yogyakarta.

QR code DKI Jakarta

Sejumlah pengelola mal di Jakarta mengklaim menggunakan kodeQR untuk membatasi jumlah pengunjung di angka 50 persen dari total kapasitas pengunjung.

Di lapangan, ketika memindai QRcode, pengunjung hanya diminta untuk mengisi formulir pengisian data saat masuk mal. Jika tak ada fitur pemindai kode QR pada kamera ponsel, pengunjung bisa mengetik sendiri alamat URL untuk melakukan pengisian data.

Setelah pengunjung mengisi data pribadi dan jumlah orang yang masuk dalam mal, pengujung pun bisa masuk dan melenggang begitu saja ketika keluar mal.

Berdasarkan pantauan CNNIndonesia.com, banyak pengunjung yang langsung keluar dari mal tanpa melakukan scan sebagai penanda bahwa sudah tidak berada di dalam mal. Petugas yang berjaga juga tidak terlihat rutin mengingatkan pengunjung untuk melakukan scan QR Code sebelum keluar mal.

Fitur formulir ini pun sama sekali tidak memberi informasi jumlah pengunjung yang ada di dalam mal. Sehingga pengisian formulir data pribadi itu sama sekali tidak berhubungan dengan pengendalian jumlah pengunjung di mal.

QR code Bandung

Serupa dengan Jakarta, beberapa mal di Bandung juga meminta pengunjung untuk memindai kode QR yang terhubung dengan tautan situs isian Google Form.

Pengunjung diminta untuk mengisi data pribadi lewat formulir tersebut sebelum masuk ke mal. Saat keluar mal, pengunjung pun langsung keluar begitu saja.

QR code Yogyakarta

Di Yogyakarta, Pemkot dan Pemprov DIY punya cara berbeda untuk mengawasi pergerakan dan kontak pengunjung.

Pemerintah Kota (Pemkot) Yogyakarta memasang QR code di sejumlah titik kawasan Malioboro. Pengunjung diminta untuk memindai dan lagi-lagi mengisi isian Google Form.

Setelah dipindai, akan muncul formulir elektronik “Malioboro Ku”. Pengunjung diminta memasukkan nama dan nomer kontak yang bisa dihubungi. Namun kenyataannya, tak semua pengunjung mengaku tak diminta untuk scan barcode oleh petugas.

Berbeda dengan langkah pemerintah kota, Pemprov DIY menyiapkan aplikasi Cared+ Jogja. Aplikasi ini bisa diunduh di cared-diy.jogjaprov.go.id.

Pengguna bakal diminta untuk mengisi data pribadi dan melakukan pengetesan kondisi kesehatan pribadi dengan menjawab sejumlah pertanyaan. Setelah selesai, aplikasi akan memberikan QR code yang berisi data pribadi dan riwayat kesehatan.

Warna latar pada kodeQR ini bisa berubah sesuai dengan risiko kesehatan pengisi data. Jika pengisi data punya risiko tinggi positif corona, maka latar akan berwarna merah. Warna hijau untuk risiko sedang, dan warna biru untuk risiko rendah.

Kepala Dinas Komunikasi dan Informatika (Diskominfo) DIY, Rony Primanto Hari menjelaskan, melalui Cared+ Jogja ini, masyarakat bisa mendaftarkan diri untuk mendapatkan QR Code yang selanjutnya bisa digunakan sebagai sarana untuk melakukan reservasi maupun akses ke obyek-obyek wisata tertentu, hingga memonitor kerumunan.

Efektifkah?

Pemindaian kode QR yang meminta pengunjung hanya mengisi formulir Google Form jelas tak efektif melacak penularan virus corona di tempat keramaian. Pemkot atau pemilik mal pun tak tahu berapa jumlah orang yang berkerumun di tempat mereka jika hanya lewat pengisian data tersebut.

“Secara teknis memang tidak terlalu efektif, karena ini hanya mengumpulkan data yang tidak bisa digunakan untuk tracking (pelacakan) secara realtime (waktu saat ini),” jelas pengamat keamanan siber dariCISSReC,PratamaPrasadha, saat dihubungi Sabtu (27/6).

Apalagi pengawasan orang yang keluar dan masuk lokasi tersebut lemah. Di Jakarta, orang yang keluar mal tak perlu melakukan pemindaian ulang. Bagaimana pemilik mal tahu orang yang sudah keluar dari lokasi mereka. Di Yogyakarta, tak semua pengunjung juga diminta memindai dan mengisi kode QR tersebut.

“Memang patut dipertanyakan bagaimana QR Code dan Google Form ini bisa menghitung jumlah pengunjung mall dan bagaimana pengawasan real time-nya,” lanjutnya.

Keraguan efektivitas ini juga dilontarkan pengamat kemanan siber dari Vaksin.com, Alfons Tanujaya.

“Kelihatannya ini hanya formalitas saja,” jelasnya, saat dihubungi terpisah.

“(Kelihatannya) tidak dilakukan pengumpulan database. Jadi data yang dimasukkan sama sekali tidak di crosscheck dengan data yang sebenarnya,” tambahnya. 

Di sisi lain, pengisian kode QR dengan data pribadi tanpa pengawasan yang jelas juga menjadi celah untuk mengumpulkan data pribadi pengunjung. Apalagi kalau data ini sampai dicuri oleh pihak yang tak bertanggung jawab. Sebab, data pribadi pun kini “punya harga” jika diperjual belikan di internet.

Namun, menurut Alfons, kalau sumber datanya kurang akurat, biasanya yang berminat untuk mengeksploitasi data tersebut tidak banyak.

Perbandingan dengan luar negeri

Penggunaan QR Code atau Kode QR sudah dimanfaatkan negara seperti China, Hong Kong, dan Rusia.

Di China, kode QR yang digunakan warga disediakan oleh pemerintah pusat. Kode QR ini berisi data pribadi pengguna dan kondisi kesehatan mereka.

Latar pada kode QR itu bisa berubah warga sesuai dengan risiko kesehatan pemilik. Warna pada kode QR didapat setelah warga melakukan pengisian data pribadi.

Mereka mesti menjawab kemana mereka pernah bepergian, apakah mereka pernah kontak dengan postif Covid-19, dan menilai kesehatan pribadi. Lebih kurang, cara kerjanya serupa dengan aplikasi Cared+ Pemprov DIY.

Pada beberapa kota di China, kode QR ini menjadi “paspor” bagi warga untuk bisa bepergian keluar rumah, memasuki tempat umum, baik mal atau gedung.

Pemerintah RI juga menyediakan aplikasi Peduli Lindungi. Aplikasi ini tidak menyediakan kode QR, tapi menggunakan Bluetooth untuk mendeteksi jika pengguna sempat berpapasan atau kontak dengan orang yang berisiko positif corona.

Selain itu, untuk menilai kondisi kesehatan, pengguna tak diminta melakukan pengisian penilaian mandiri. Tapi, harus berdasarkan hasil tes kesehatan oleh tenaga medis, baik hasil rapid test atau swab. Sebab, nantinya aplikasi ini bakal bisa digunakan sebagai “paspor kesehatan” untuk bepergian.

(sut/eks)

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here