Ilustrasi jaga jarak fisik. (ANTARA FOTO/Zabur Karuru)
LENSAPANDAWA.COM –
Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) telah mengonfirmasi penularan virus corona SARS-CoV-2 penyebab Covid-19 bisa menular melalui udara atau transmisi airborne, Rabu (7/7). Hal itu belum diumumkan secara resmi oleh WHO, namun dianggap bisa menimbulkan berbagai konsekuensi soal penanggulangan pandemi.
Sebelumnya WHO sedari lama percaya penyebaran utama Covid-19 disebabkan droplet atau tetesan berukuran besar dikeluarkan penderita Covid-19 ketika berbicara, batuk, bersin, hingga bernyanyi. Namun droplet ini cepat jatuh ke permukaan sehingga dianggap tak akan terlontar jauh, tidak melebihi 1,5 meter.
Seseorang bisa tertular Covid-19 jika terpapar droplet atau setelah menyentuh dengan tangan area permukaan yang terdapat droplet kemudian tanpa sengaja memegang area wajah seperti mulut, hidung, atau mata.
Sementara itu transmisi udara virus corona telah dikemukakan 239 ilmuwan di 32 negara yang menjelaskan bagian kecil droplet, aerosol, bisa bertahan lama di udara lalu menginfeksi seseorang saat menghirupnya.
Aerosol berukuran lebih kecil dari 5 mikrometer, sementara droplet lebih besar dari itu. Aerosol dikatakan bisa melayang-layang di udara dan memungkinkan menginfeksi seseorang misalnya berada dalam satu ruangan yang sama.
Berikut sejumlah konsekuensi penularan Covid-19 melalui transmisi udara.
1. Virus bisa hidup lama di aerosol
Ukuran aerosol yang kecil membuatnya bisa melayang di udara selama beberapa jam dan menjangkau jarak cukup jauh dari sumber.
Studi di AS menyebut virus corona SARS-CoV-2 bisa hidup di aerosol hingga empat jam. Sementara studi lain (belum peer-review) menyebut bisa bertahan 16 jam.
2. Penularan lewat udara tak perlu kontak langsung
Penularan lewat udara lebih berbahaya sebab bisa terjadi tanpa kontak langsung. Hal ini diungkap ahli Epidemiologi dari Universitas La Trobe Australia, Hassan Vally.
Vally mengatakan aerosol dapat bertahan di udara meski penderita Covid-19 sudah meninggalkan ruangan.
3. Jarak sosial 2 meter jadi tak efektif
Adanya bukti penularan bisa terjadi lewat udara, membuat penerapan jarak sosial menjadi tidak begitu efektif.
Dokter divisi penyakit tropik dan infeksi, Departemen Penyakit Dalam FKUI/RSUPN dr. Cipto Mangunkusumo, Adityo Susilo, mengatakan, jika pada akhirnya WHO memastikan penularan Covid-19 melalui airborne, maka menjaga jarak sosial dan fisik sejauh dua meter tak lagi efektif.
“Logikanya kalau dikatakan airborne, ukuran droplet akan sangat kecil di bawah 5 mikrometer, faktor gravitasi tidak besar peranannya, dia bisa melayang-layang di udara. Kendalanya, sosial distancing yang semula dua meter menjadi lebih lebar,” kata Adityo.
4. Buka jendela, perbarui filter AC, sinar ultraviolet
Dampak lain menurut Vally membuat virus ini bisa menular lewat saluran udara dan AC, seperti dilansir dari The Conversation.
Masyarakat disarankan rutin membuka pintu dan jendela untuk memperbanyak sirkulasi dan juga memperbarui saringan AC.
Don Milton, ahli aerosol dari Universitas Maryland, AS, menyarankan gedung umum dan bisnis mempertimbangkan penggunaan air purifiers dan alat sinar ultraviolet (UV-C) untuk membunuh virus, seperti dikutip The New York Times.
5. Mengetatkan pemakaian masker
Vally menyarankan setiap pemerintah harus menegakkan aturan pemakaian masker setelah ditemukannya bukti penularan Covid-19 melalui udara.
Vally mengatakan bukti bahwa Covid-19 bisa menyebar di udara dapat meningkatkan prinsip protokol kesehatan dengan menganggap udara memainkan peran penting dalam penularan penyakit.
Terpisah, Professor of Immunology, University of Pittsburg, Douglas Reed, juga setuju penggunaan masker untuk menangkal penyebaran Covid-19 lewat udara.
“Anda dapat mengurangi penularan melalui udara dengan menggunakan masker. Memakai masker adalah cara yang sangat efektif dan murah untuk memperlambat pandemi,” kata Reed.
6. Risiko lebih besar di dalam ruangan
Vally mengatakan transmisi virus SARS-CoV-2 akan berdampak pada imbauan menjaga jarak sosial. Virus yang ditularkan melalui udara membuat jarak sosial menjadi tidak efektif.
Khususnya di dalam ruangan yang padat dengan ventilasi yang buruk sehingga menimbulkan ancaman besar.
“Ini juga meningkatkan kemungkinan virus dapat berpergian pada arus udara, dan bahkan ditularkan melalui pendingin udara,” kata Vally seperti yang dilansir dari The Conversation.
Di sisi lain, Adityo mengatakan bahkan jika seseorang sudah menjaga jarak lebih dari dua meter, infeksi mungkin terjadi bila berada di area yang berbagi sirkulasi udara yang sama dengan pasien positif Covid-19.
“Kalau airbone, [menjaga jarak] dua meter menjadi rancu, selama di satu ruangan sama, berbagi sirkulasi udara, Anda berpotensi tertular. Akan banyak perubahan kalau ini bisa menular secara airborne,” kata Adityo.
7. Penularan udara masih jadi perdebatan
Para ahli sebenarnya masih berdebat soal penularan airborne. Sebab, menurut epidemiolog dan ahli penyakit menular Paul Hunter, bukti-bukti penularan lewat udara masih terbatas, seperti dikutip Live Science.
Hunter yang juga menjadi profesor dari Universitas East Anglia di Inggris dan anggota komite pencegahan infeksi WHO yakin penularan lewat udara hanya terjadi pada situasi tertentu saja.
Para ahli epidemiologi juga menjelaskan kasus penularan Covid-19 kebanyakan terjadi lewat kontak dekat.
“Kebanyakan akibat transmisi droplet,” jelas Amesh Adalja, spesialis penyakit menular di Universitas John Hopkins.
Vally mengatakan penyebaran Covid-19 di udara menimbulkan pertanyaan penting terkait besarnya peranan udara dalam transmisi Covid-19.
“Misalnya, sebagian besar transmisi SARS-CoV-2 terjadi melalui tetesan besar dan rute udara hanya memainkan peran sesekali, ini memiliki implikasi yang sangat berbeda dengan skenario di mana rute udara merupakan mode transmisi yang signifikan,” tutur Vally.
(jnp/fea)