Ratusan KK korban gempa masih tinggal di tenda darurat

0
151
Ratusan KK korban gempa masih tinggal di tenda daruratSeorang penyintas bencana duduk di depan tendanya di Kamp Pengungsian Balaroa, Palu, Sulawesi Tengah, Rabu (4/9/2019). Menurut Data International Organization for Migration (IOM), menjelang setahun bencana gempa, likuifaksi dan tsunami di Sulawesi Tengah, masih terdapat sekitar 16.654 keluarga atau 66.264 jiwa penyintas yang tinggal di tenda-tenda pengungsian darurat. ANTARA FOTO/Basri Marzuki/ama.

LENSAPANDAWA.COM – Ratusan kepala keluarga (KK) masih tinggal di tenda-tenda pengungsian dengan kondisi sangat memprihatinkan, walaupun

bencana alam gempa bumi 7,4 SR, tsunami dan likuefaksi di Sulteng terjadi setahun lalu, kata Nur Safriti dari Yayasan Sikola Mombine.

Nur kepada ANTARA di Palu, Selasa membenarkan hasil monitoring di titik-titik penampungan menunjukkan masih banyak korban yang terpaksa bertahan tinggal di tenda-tenda pengungsi karena tidak mendapatkan hunian sementara (huntara).

"Apalagi, mendapatkan hunian tetap (huntap," kata dia.

Ratusan kk korban gempa, tsunami dan likuefaksi yang masih tinggal di lokasi pengungsian itu tersebar di Kota Palu, Kabupaten Sigi dan Kabupaten Donggala.

Mereka yang berada di tenda-tenda pengungsi bukan hanya orang dewasa, tetapi juga bayi dan anak-anak dengan kondisi yang cukup memprihatinkan, sebab kekurangan makanan dan kebutuhan lainnya.

Bahkan tempat tinggal mereka itu sebenarnya tidak layak untuk dijadikan tempat tinggal karena tendanya sudah bocor sehingga saat hujan tak jarang banjir masuk ke tenda dan mengusik kenyamanan para korban.

Nur menambahkan rata-rata warga yang tinggal bertahan di tenda-tenda pengungsi yang terbuat dari terpal sejak mulai huntara dibagikan, mereka tidak mendapatkan, sebab namanya tidak ada dalam daftar penerima huntara.

"Karena tidak mendapatkan huntara, makanya mereka memilih untuk tinggal di tenda pengungsi, meski tidak layak dihuni," ujarnya.

Selain tinggal di tenda darurat, para penyintas bencana alam di tiga wilayah Palu, Sigi dan Donggala hingga kini belum juga mendapatkan jaminan hidup (jadup) sebagaimana yang telah dijanjikan oleh pemerintah.

"Kalau pemerintah tidak punya uang, lebih baik berterus terang saja kepada kami, bukan hanya janji-janji saja sebagai surga telinga," kata salah seorang penyintas yang enggan disebut identitasnya dan masih tinggal di tenda pengungsi di Kecamatan Palu Barat.

Hal senada juga disampaikan Ny Rosa, seorang warga korban gempa di Kelurahan Wombo Kalongo Kecamatan Taweli.

Ia juga mengaku masih tinggal di tenda pengungsi bersama belasan kk lainnya karena rumahnya hancur dan belum juga mendapatkan bantuan dana stimulan untuk pembangunan/perbaikan rumah rusak akibat gempa.

Dia juga mengaku tidak mendapatkan bantuan huntara dan jadup.

Bencana alam paling dahsyat di Provinsi Sulteng tersebut menelan korban jiwa mencapai ribuan orang dan menghancurkan banyak rumah penduduk, sarana/fasilitas infrastruktur jalan, jembatan, listrik, telekomunikasi dan jaringan irigasi.

Bahkan di Kabupaten Sigi yang merupakan daerah terdampak bencana alam cukup parah di Sulteng itu ribuan petani masih merana karena tidak bisa menggarap lahan pertanian mereka, sebab jaringan irigasi rusak total dan sedang dalam upaya perbaikan oleh pemerintah pusat dan daerah.

Ada sekitar 8.000 hektare lahan pertanian pangan dan hortikultura di empat kecamatan Gumbasa, Tanambulva, Dolo dan Sigibiromaru terlantar karena irigasi rusak diterjang gempa dan likuefaksi pada 28 September 2018.

Demikian berita ini dikutip dari ANTARANEWS.COM untuk dapat kami sampaikan kepada pembaca sekalian.

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here