Lokomotif E1060 yang dikenal sebagai “Mak Itam” di deponya di Museum Kereta Api di Kota Sawahlunto, Sumatera Barat, Rabu (31/10/2019) (ANTARA/Prisca Triferna)
LENSAPANDAWA.COM – Lokomotif hitam itu diam, tidak bergerak bahkan tidak berada di rel, tapi tersimpan di depo di pojok museum kereta. Siapa sangka, lokomotif bernomor seri E1060 itu adalah sang legenda Sumatera Barat yang dikenal sebagai Mak Itam.
Mak Itam adalah julukan yang diberikan oleh masyarakat Minangkabau yang berarti "paman hitam". Nama itu diberikan karena selain tubuhnya berwarna hitam, asap pekat yang keluar dari lokomotif itu juga membuat produk keluaran Eropa itu mendapatkan julukan tersebut.
Jika Jawa Tengah punya kereta Ambarawa maka Mak Itam adalah ikon bagi perkeretapian Sumatera Barat, sosoknya yang bergerak di rel masih menjadi ingatan yang membekas di kenangan masyarakat yang dilalui lokomotif tersebut.
Salah satunya adalah Mar, warga kota Padang Panjang yang masih mengingat dengan jelas ketika Mak Itam yang legendaris membawa serangkaian gerbong yang berisi batu bara.
Mar mengingatnya dengan jelas karena rangkaian kereta itu melintas di jembatan kereta api Padang Panjang yang membelah Lembah Anai menuju ke Pelabuhan Emmahaven di Padang, atau yang kini dikenal sebagai Pelabuhan Teluk Bayur.
"Saya tinggal di sini seumur hidup, ingat banget ada kereta bawa batu bara. Badannya hitam semua dan asapnya banyak," ujar Mar ketika ditemui di rumahnya di kota Padang Panjang.
Lokomotif uap itu menjadi ikonik, tidak hanya karena desainnya dan asap pekatnya yang dikeluarkan karena menggunakan mesin uap tapi karena menjadi simbol kejayaan tambang batu bara di kota Sawahlunto.
Mak Itam digunakan untuk mengangkut batu bara dari tambang Ombilin di kota Sawahlunto, yang pada puncak kejayaannya pada tahun 1970-an bisa memproduksi lebih dari sejuta ton batu bara per tahun.
Seri E1060 sendiri sebenarnya baru dipakai setelah Indonesia merdeka pada 17 Agustus 1945, digunakan untuk membawa berton-ton batu bara menuju Emmahaven untuk akhirnya dibawa oleh kapal yang menanti di pelabuhan tersebut.
Dengan membawa batu bara dari kota Sawahlunto, Mak Itam menembus terowongan sepanjang 828 meter yang disebut sebagai Lubang Kalam menuju Stasiun Muarakalaban kemudian melewati Stasiun Solok.
Rangkaian kereta itu kemudian menyusuri Danau Singkarak untuk pergi ke Stasiun Batu Tabal dengan relnya yang spesial untuk sampai ke Stasiun Kayu Tanam menuju stasiun akhirnya di Teluk Bayur, Padang, menurut staf Dinas Kebudayaan, Peninggalan Bersejarah dan Permuseuman Kota Sawahlunto, Dedi Yolson.
"Di Batu Tabal terjadi pergantian lok (lokomotif), ditukar yang menggunakan gigi karena medannya. Masuk ke Lembah Anai, rel bergerigi itu panjangya sekitar 29 kilometer dari Batu Tabal hingga Kayu Tanam. Di sana ganti lagi dengan lok biasa karena tidak ada lagi tanjakan dari sana ke Padang," ujar Dedi, ketika ditemui di Museum Kereta Api Sawahlunto.
Pragmatisme Belanda
Menurut dia, jalur tersebut, yang lahir lebih dulu daripada Mak Itam, dipilih oleh Belanda karena alasan yang cukup pragmatis yaitu menghemat biaya. Awalnya ada dua jalur yang diajukan yaitu yang ada relnya saat ini dan melewati Sitinjau Laut.
Meski jaraknya lebih dekat, hampir setengah dari jalur Lembah Anai, tapi jalur ke sana harus membuat Hindia Belanda membuat banyak terowongan yang berarti akan menggandakan biaya pembangunan rel.
Selain itu, alasan kolonial Hindia Belanda memilih jalur Lembah Anai adalah karena untuk menghidupkan jalur perkebunan. Di Padang Panjang terdapat jalur persimpangan, yang mengarah ke Payakumbuh, yang dulu merupakan perkebunan tembakau.
Permasalahan jarak itu membuat kereta hitam itu menghabiskan sekitar satu pekan untuk membawa hasil tambang Sawahlunto ke Padang. Penyebabnya lambannya lokomotif uap dan kehati-hatian saat melewati jalur terjal.
Hal itu berbeda ketika otoritas mulai menggunakan lokomotif diesel berbahan bakar minyak, yang tadinya bisa menghabiskan sepekan kini bisa dalam hitungan jam tiba di Padang dan Pelabuhan Teluk Bayur.
Sumber harapan
Setelah menjadi "transmigran" di Ambarawa sejak 1988, E1060 akhirnya kembali ke pangkuan kota Sawahlunto pada Desember 2007 setelah Pemkot Sawahlunto meminta PT Kereta Api Indonesia membawa sang Paman Hitam kembali ke Sumatera Barat.
Sejak saat itu, sang pembawa batu bara beralih fungsi menjadi kereta api wisata dengan menggunakan jalur Sawahlunto-Muarakalaban. Bahkan lokomotif itu pernah digunakan untuk ajang sepeda tahunan bergengsi Tour de Singkarak pada 2012.
Namun, nasib Mak Itam saat ini kembali disimpan di depo yang berada di Museum Kereta Api Sawahlunto karena kerusakan pada sistem pemanas air.
Tapi setitik harapan untuk Mak Itam muncul ketika pada Juli 2019 secara resmi Tambang Ombilin di Sawahlunto resmi menjadi warisan budaya dunia UNESCO.
Pemerintah kota Sawahlunto bertekad menggunakan momen tersebut untuk secara nyata mengubah fungsinya dari kota pertambangan, yang aktivitasnya sudah dihentikan beberapa tahun lalu, menjadi kota wisata dengan keunikan sejarahnya sebagai tambang batu bara tertua di kawasan Asia Tenggara.
Mak Itam, sebagai bagian tidak terpisahkan dari kisah era kejayaan pertambangan batu bara di Sawahlunto tentu akan menjadi bagian dari transformasi tersebut.
Wali Kota Sawahlunto Deri Asta menegaskan transformasi itu harus dilakukan untuk mengubah kota itu menjadi titik penarik wisatawan baik domestik maupun asing ketika menerima plakat sertifikat warisan dunia UNESCO di Kota Sawahlunto pada Selasa (29/10).
Demikian berita ini dikutip dari ANTARANEWS.COM untuk dapat kami sampaikan kepada pembaca sekalian.