Ilustrasi data. (Istockphoto/Yok46233042)
LENSAPANDAWA.COM – Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 71 Tahun 2019 soal Penyelenggaraan Sistem dan Transaksi Elektronik (PSTE) telah disahkan pada 10 Oktober 2019 lalu, menggantikan PP PSTE Nomor 82 Tahun 2012.
Namun, peraturan yang mengatur penyelenggara sistem elektronik, penempatan data center, perlindungan data pribadi, autentikasi situs web, dan pengelolaan nama domain itu menjadi polemik dan banyak ditentang publik. Beberapa pasal dalam revisi PP PSTE yang dianggap bermasalah di antaranya:
Pasal 17 ayat (2)
Dalam peraturan sebelumnya, penyedia layanan diharuskan menempatkan pusat data (data center) dan pusat pemulihan data (disaster recovery center) secara fisik di wilayah Indonesia.
Namun, pemerintah merevisi hal tersebut lewat pasal 17 ayat 2 dengan tidak lagi mewajibkan pengelola data center untuk menempatkan pusat datanya di Indonesia, melainkan hanya data yang disebut ‘strategis’ saja yang harus berada di Indonesia.
Adapun bunyi pasal 17 ayat (2) dalam draf revisi PP PSTE ‘Penyelenggara Sistem Elektronik wajib menempatkan dan memproses Data Elektronik Strategis pada pusat data dan pusat pemulihan bencana di wilayah Indonesia’.
Sementara itu, bunyi pasal 17 ayat (2) sebelum direvisi adalah ‘Penyelenggara Sistem Elektronik untuk pelayanan publik wajib menempatkan pusat data dan pusat pemulihan bencana di wilayah Indonesia untuk kepentingan penegakan hukum, perlindungan, dan penegakan kedaulatan negara terhadap data warga negaranya.’
Beberapa asosiasi dan lembaga pemerhati data dan internet di Indonesia menilai perubahan tersebut bisa membuat penyedia layanan data center dari luar Indonesia bisa masuk dengan mudah ke tanah air dan menguntungkan pemain asing.
Bahkan, mereka juga takut perubahan tersebut bisa mengancam kedaulatan negara dan bisnis data center dari pemain lokal pun bisa gulung tikar.
Pasal 21 ayat 1
Pasal tersebut berbunyi ‘Penyelenggara Sistem Elektronik Lingkup Privat dapat mengelola, memproses dan/atau menyimpan Sistem Elektronik dan Data Elektronik di wilayah Indonesia dan/atau di luar wilayah Indonesia’. Sementara bunyi pasal 21 ayat 1 sebelum direvisi ‘Penyelenggara Sistem Elektronik wajib menampilkan kembali Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik secara utuh sesuai dengan format dan masa retensi yang ditetapkan berdasarkan ketentuan peraturan perundang-undangan’.
Beberapa pihak, salah satunya Asosiasi Cloud Computing Indonesia (ACCI) mengkritik revisi tersebut akan membuat negara tidak akan dapat melindungi data masyarakat di Indonesia.
[Gambas:Video CNN]
Ketua ACCI menilai pemerintah disebut memberikan lampu hijau kepada Penyelenggara Sistem Elektronik Lingkup Privat dan aplikasi-aplikasi yang berasal dari negara lain untuk bisa menyimpan data di luar wilayah Indonesia.
Mereka menilai ada potensi 90 persen data di Indonesia akan lari ke luar wilayah Indonesia mengingat sampai saat ini Indonesia belum mempunyai aturan perlindungan data pribadi yang memadai.
Selain itu, pasal 21 ayat 1 ini akan membuat penyedia layanan pusat data, komputasi awan, over the top (OTT) asing tidak lagi berkewajiban melakukan investasi di Indonesia karena bisa melayani masyarakat Indonesia di luar wilayah Indonesia. Hal ini dinilai sangat merugikan dari segi ekonomi.
Tak hanya itu, revisi ini membuat penegakan hukum akan mengalami kesulitan saat proses hukum tersebut membutuhkan data yang tersimpan di luar wilayah Indonesia.
Pasalnya, masing-masing negara mempunyai aturan dan yuridiksinya masing-masing dan membuat penyelenggara elektronik tak patuh pada hukum Indonesia.
Alex juga menyayangkan sikap pemerintah yang melakukan ‘barter’ dengan Amerika Serikat terkait pelonggaran Gerbang Pembayaran Nasional (GPN) dan pengadaan pusat data demi memperoleh insentif tarif Generalized Systems of Preference atau GSP.
“Ini kan menggadaikan kedaulatan negara dengan GSP. Kalau misalnya potongan pajaknya 30 persen maka value GSP ini hanya 8.1 Triliun. Harga kedaulatan kita cuma 8,1 T dong,” kata Alex kepada CNNIndonesia.com.
Upaya pemerintah dalam revisi UU ITE dinilai Alex sangat kontradiktif dengan janji Presiden Joko Widodo soal kedaulatan data. Jokowi sebelumnya, mengatakan bahwa data adalah ‘minyak baru’ yang perlu diperkuat dan dilindungi.