Ilustrasi pasien terjangkit corona. (Foto: ANTARA FOTO/Destyan Sujarwoko)
LENSAPANDAWA.COM – Peneliti Bidang Mikrobiologi Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI), Sugiyono Saputra menanggapi Indonesia disebut berada pada peringkat kedua persentase tingkat kematian kasus virus corona (SARS-CoV-2).
Berdasarkan situs Bnonews, Indonesia berada peringkat kedua tertinggi di dunia perihal persentase tingkat kematian kasus virus corona dengan angka 49 dari 579 kasus atau sekitar 8,46 persen.
Peringkat pertama adalah Italia dengan angka 6,077 kematian dari 63,927 kasus corona atau sekitar 9,51 persen.
Sugiyono menjelaskan tingkat kematian atau case fatality rate (CFR) dihitung berdasarkan jumlah kasus yang terdeteksi atau dilaporkan dibagi dengan jumlah kasus orang meninggal.
Ia mengatakan tingkat kematian virus corona di dunia yang disampaikan Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) diperkirakan berada di angka 3,4 persen, meningkat dari 2 persen.
“Angka tersebut adalah angka perkiraan, yang mengartikan bahwa sebetulnya pada kondisi yang sebenarnya, bisa jadi jumlah penderita yang sebenarnya lebih banyak dan bisa jadi pula kasus kematian yang disebabkan oleh COVID-19 saja jumlahnya lebih sedikit,” kata Sugiyono saat dihubungi CNNIndonesia.com, Selasa (24/3).
Sugiyono menjelaskan kemungkinan jumlah penderita lebih tinggi karena belum diketahui secara pasti orang yang terinfeksi virus corona. Sugiyono mengatakan banyak kasus corona yang belum menimbulkan gejala atau tanpa gejala (presimtomatik dan asimtomatik) atau memiliki gejala ringan yang tidak dilaporkan atau tidak terdeteksi.
Sugiyono mengatakan jumlah penderita sedikit ini akan berdampak pada peningkatan persentasi tingkat kematian, seperti yang terjadi di Indonesia.
“Hal ini membuat jumlah penderita terlihat sedikit yang pada akhirnya akan ‘meninggikan’ persentase tingkat kematian, seperti pada kasus di Indonesia,” ujar Sugiyono.
Untuk mengurangi persentase tingkat kematian, Sugiyono menyarankan pemerintah melakukan pengujian masif yang menjangkau banyak orang, seperti yang dilakukan Korea Selatan, Jerman dan Amerika Serikat. Langkah ini untuk mengkonfirmasi yang positif, sembuh dan kematian. Dengan begitu semakin terlihat persentase tingkat kematian.
[Gambas:Video CNN]
Konsekuensinya adalah pemerintah harus memiliki fasilitas atau kita pengujian yang mumpuni dan efisien untuk menjangkau jumlah sampel yang banyak. Luasnya jangkauan sampel agar pemerintah mampu mengidentifikasi pasien corona baik dengan gejala ringan, sebelum maupun tanpa gejala.
“Kenapa sedikit, karena pengujian yang dilakukan juga belum masif dan hanya dilakukan pada orang-orang yang sudah ada gejala atau dalam pemantauan. Padahal di banyak negara, kasus positif Covid-19 dari orang yang belum ada gejala, tidak ada gejala atau yang ringan juga banyak. Nah ini yang luput dari pengujian,” tutur Sugiyono.
Sementara itu, Peneliti senior Eijkman, Herawati Sudoyo menjelaskan sejauh ini pemerintah masih butuh petugas kesehatan yang memadai untuk kasus corona. Ini seiring dengan bertambahnya jumlah penderita corona di Indonesia.
“Tentunya menyiapkan RS dan tenaga kesehatan yang memadai. RS sudah mulai dibangun dan disiapkan, tenaga kesehatan mungkin perlu dicukupi mengingat banyak yang sekarang ini sedang dipantau karena kontak dengan penderita,” ucap Herawati.
Sugiyono menambahkan kematian disebabkan oleh beberapa faktor, yakni demografi (umur) pasien, riwayat penyakit bawaan hingga kualitas fasilitas kesehatan dan penanganan pasien.
“Pasien dengan riwayat penyakit bawaan penyakit jantung, diabetes, penyakit saluran pernapasan lain, hipertensi dan kanker juga memiliki tingkat kematian yang tinggi. Hanya sekitar 0.9 persen pasien yang dinyatakan tidak memiliki penyakit bawaan kemudian meninggal setelah terkena COVID-19,” ujar Sugiyono.
Berdasarkan Chinese Center for Disease Control and Prevention (CDC), tingkat kematian di China adalah sekitar 2,3 persen. Apabila dibagi ke tingkat umur, pasien dengan umur di bawah 50 tahun memiliki tingkat kematian 0 persen hingga 0,3 persen.
Persentase akan akan meningkat dari ke 1,3 persen hingga 14 persen pada pasien yang berusia 50 tahun ke atas.
Sugiyono juga berkomentar terkait tingginya persentase tingkat kematian kasus corona di Italia. Ia mengatakan kasus corona di Italia adalah sebuah anomali karena rata-rata pasien di Italia berusia 67 tahun yang memiliki tingkat kematian tinggi setelah terjangkit corona.
Hal ini membuat jumlah kematian Italia lebih tinggi daripada China dengan pasien yang rata-rata berusia 46 tahun. Jumlah kasus corona di China berada di angka 81,171 kasus dengan jumlah kematian 3,277 atau setara dengan persentase tingkat kematian 4,04 persen.
Berbanding terbalik dengan Italia yang memiliki jumlah kasus lebih sedikit, namun memiliki angka kematian lebih tinggi dari China. Angka kematian di Italia berjumlah 6,077 kematian dari 63,927 kasus atau setara dengan 9,51 persen.
“Selain itu penentuan penyebab kematian juga bias, bisa jadi yang kematiannya betul-betul disebabkan oleh COVID-19 saja adalah lebih sedikit,” tutup Sugiyono.
Demikian berita ini dikutip dari CNNINDONESIA.COM untuk dapat kami sampaikan kepada pembaca sekalian.