Ilustrasi kelelawar. (CNN Indonesia/Safir Makki)
LENSAPANDAWA.COM – Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) membeberkan alasan kelelawar tidak ‘sakit’ meskipun menjadi inang alami dari berbagai virus seperti Ebola, virus Corona termasuk MERS, SARS, dan 2019 n-CoV. Meskipun virus ini berbahaya bagi manusia, virus ini tidak memberikan dampak berbahaya bagi kelelawar.
Peneliti di Pusat Penelitian Biologi LIPI, Sugiyono Saputra mengatakan hal ini terjadi karena evolusi adaptasi terbang kelelawar mengubah sistem imun dari kelelawar.
“Dipublikasikan pada jurnal terkemuka, Cell Host dan Microbe, aparan DNA sitosol yang berlebihan pada sel-sel di kelelawar selama terbang maupun ketika ada infeksi virus berperan kuat dalam seleksi alam untuk mengurangi aktivasi sensor DNA kelelawar,” ujar Sugiyono kepada CNNIndonesia.com, Rabu (5/2).
Sugiyono menjelaskan sensor DNA merupakan jalur untuk memulai respon ilmu bawaan setelah mengenali adanya patogen (termasuk virus) yang pada akhirnya dapat menimbulkan gejala penyakit.
Melemahnya sensor DNA pada kelelawar inilah yang menyebabkan kelelawar mampu menjaga keseimbangan dalam keadaan ‘effective response’, bukan ‘over response’ atau respon yang berlebihan terhadap virus.
“Sehingga tidak menimbulkan gejala patologis dan memungkinkan kelelawar hidup bersama dengan berbagai jenis patogen,” katanya.
Dilansir dari The Hindu, sebuah studi yang dilakukan tahun lalu dan diterbitkan dalam jurnal Nature Microbiology mengungkapkan mekanisme yang membuat kelelawar bisa menampung banyak virus tanpa ‘sakit’.
Dibandingkan dengan mamalia darat, kelelawar memiliki umur lebih panjang. Kelelawar dapat menghindari peradangan (inflamation) yang disebabkan oleh virus secara berlebihan, yang sering menyebabkan penyakit parah pada hewan dan orang yang terinfeksi virus.
[Gambas:Video CNN]
Ketika patogen menginfeksi manusia dan tikus, sistem kekebalan menjadi aktif dan respon inflamasi khas untuk melawan mikroba terlihat.
Sementara respon peradangan yang terkontrol untuk melawan infeksi membantu menjaga kesehatan manusia, itu dapat berkontribusi terhadap kerusakan yang disebabkan oleh penyakit menular.
Sebaliknya, para peneliti menemukan bahwa respon peradangan berkurang pada kelelawar untuk melawan virus. Para peneliti dari Duke-NUS Medical School, Singapura menggunakan tiga virus berbeda – virus Melaka, virus korona MERS dan virus influenza A .
Mereka menguji respons sel kekebalan dan sel lain dari kelelawar, tikus dan manusia terhadap virus ini. Hasil uji coba menunjukkan peradangan tinggi dalam kasus manusia dan tikus, tapi secara signifikan peradangan berkurang sel-sel kekebalan kelelawar.
“Ini mendukung peningkatan toleransi kekebalan bawaan daripada peningkatan anti virus pada kelelawar. Ini juga dapat berkontribusi untuk pemahaman kita tentang peran peradangan dalam toleransi penyakit pada kelelawar sebagai inang virus,” ujar para peneliti.
Para peneliti menemukan bahwa peradangan bisa berkurang secara signifikan pada kelelawar adalah karena aktivasi protein penting, NLRP3. Protein ini dapat mengenali stres seluler dan infeksi virus atau bakteri sehingga secara signifikan berkurang dalam sel kekebalan kelelawar.
Demikian berita ini dikutip dari CNNINDONESIA.COM untuk dapat kami sampaikan kepada pembaca sekalian.