Pakar siber dari Drone Emprit dan Media Kernels Indonesia, Ismail Fahmi berhasil menganalisa berbagai tudingan negatif terhadap tenaga kesehatan. (Foto: (via Drone Emprit))
LENSAPANDAWA.COM – Pakar media sosial dari Drone Emprit, Ismail Fahmi berhasil menganalisa berbagai tudingan negatif terhadap tenaga kesehatan mulai memanipulasi penyebab kematian, mengambil keuntungan finansial dari pasien hingga dituduh PKI.
Menurutnya, isu ini potensi meningkatkan stigma negatif pada setiap tenaga kesehatan di Indonesia.
“Berkembangnya isu tersebut juga tak lepas dari beberapa nakesĀ (tenaga kesehatan) yang keluhkan tersendatnya tunjangan. Isu ini berpotensi makin tingkatkan ketidakpercayaan warga pada tenaga kesehatan,” kata Ismail di Twitter, Selasa (16/6).
Ismail menemukan stigmatisasi terhadap tenaga kesehatan banyak muncul dalam bentuk ketidakpercayaan dari publik. Mulai dari keengganan warga untuk diisolasi hingga dikuburkan dengan prosedur Covid-19.
“Saran, perlu ada klarifikasi dari pihak tenaga kesehatan atau rumah sakit dan juga upaya menangkal narasi konspirasi yang berujung pada ketidakpercayaan publik,” kata Ismail.
Berdasarkan matriks isu, ada beberapa isu menonjol terkait stigma, yaitu dugaan kecurangan rumah sakit (komersialisasi pasien), tenaga kesehatan dituduh mata duitan, dituduh PKI, penolakan rapid test, di intimidasi agar menyerahkan PDP atau jenazah PDP.
Ismail juga mengatakan sebaran isu juga cukup merata terjadi di banyak tempat. Jika dilihat berdasarkan pulau, maka terjadi di Jawa (Jakarta, Surabaya), Sulawesi (Manado, Makassar), Ambon (Nusaniwe), Madura (Pamekasan), Buton (Baubau).
[Gambas:Twitter]
Dianalisa dari kasus yang ada, aksi perundungan paling banyak muncul akibat narasi negatif terhadap tenaga kesehatan. Beberapa peristiwa penolakan penguburan jenazah pasien Covid-19 juga muncul karena stigmatisasi dan ketidakpercayaan pada tenaga kesehatan.
“Berikutnya, terlihat bahwa penyebab yang paling dominan dari stigmatisasi adalah rasa takut tertular penyakit dari nakes dan juga misinformasi serta provokasi,” ucap Ismail.
[Gambas:Twitter]
Ismail mengatakan narasi yang paling dominan dalam stigmatisasi tenaga kesehatan adalah unggahan @nirwan_anestesi yang mengeluhkan tuduhan dokter ambil untung dari pandemi menjadi narasi yang cukup kuat.
Selain itu, informasi dari akun portal berita dan lembaga resmi pemerintahan banyak di amplifikasi netizen.
Berdasarkan analisa emosi, ekspresi paling dominan dalam perbincangan adalah emosi ketakutan. Ketakutan terhadap segala yang berhubungan dengan nakes maupun fasilitas kesehatan, memicu kemunculan emosi tersebut.
“Misalnya, Ketakutan untuk ke rumah sakit atau berobat. Ada pula yang takut nakes melakukan malapraktek,” kata Ismail.
Berikutnya, emosi yang juga cukup banyak muncul adalah kepercayaan. Mayoritas menunjukkan kepercayaan mereka terhadap nakes serta meragukan berbagai gosip atau isu konspirasi kesehatan dan tuduhan dokter yang ambil untung dari pandemi.
Emosi ketiga adalah terkejut. Publik cukup kaget dengan kemunculan gosip yang terbukti salah. Contohnya seperti aksi penolakan penguburan jenazah sesuai protokol di Makassar dan Manado. Rasa terkejut juga muncul karena publik karena tidak tahu banyaknya gosip yang mendiskreditkan nakes.
[Gambas:Twitter]
Kota yang paling banyak membicarakan nakes dalam konteks stigma terkait #COVID19indonesia adalah Jakarta (617 mentions), Yogyakarta (306), dan Bandung (140).
Dibandingkan wanita, pria terlihat lebih aktif membicarakan stigma terhadap pasien Covid-19 di Indonesia. 65,83 persen yang membahas stigma adalah pria, sedangkan wanita 34,17 persen.
Rentang usia 19-29 tahun, merupakan yang paling banyak bicarakan isu ini (51,68 persen), disusul rentang usia kurang dari 18 tahun (25,95 persen).
[Gambas:Twitter]
(jnp/mik)