Berkaca dari Wework dan Softbank, Investor Lebih Waspada

0
381
Berkaca dari Wework dan Softbank, Investor Lebih WaspadaIlustrasi. (Kazuhiro NOGI / AFP)

LENSAPANDAWA.COM – Industri perusahaan rintisan (startup) di Negeri Paman Sam sempat dihebohkan oleh kasus skandal penggelembungan valuasi aset sejumlah unicorn. Unicorn adalah perusahaan rintisan milik swasta yang memiliki nilai kapitalisasi lebih dari US$1 miliar. Sebut saja Wework dan Uber yang terganjal persoalan kinerja keuangan. Startup berbagi ruang kantor (coworking space) Wework menghadapi kesulitan kas, ditambah gaya hidup pendiri Wework Adam Neumann yang konsumtif hingga ‘mengganggu’ tata kelola perusahaan. Perusahaan bahkan gagal melantai di bursa saham atau IPO karena dianggap menggelembungkan nilai aset mencapai US$9 miliar atau jauh lebih besar dari data sebenarnya. Di sisi lain, Uber diklaim memiliki valuasi US$120 miliar. Meski sudah melantai ke pasar modal, Uber masih menderita kerugian hingga US$4 miliar. Kasus-kasus itu turut menyeret perusahaan raksasa investasi atau modal ventura Softbank sebagai penyuntik modal kedua perusahaan. Belajar dari kasus startup global tersebut, perusahaan modal ventura mengaku lebih waspada menyeleksi startup-startup yang akan diberi dana.

Suwandi, Business Development Head PT Astra Digital Internasional mengungkapkan pihaknya akan menambah kriteria persyaratan ketika akan mengalirkan dana ke startup di masa mendatang. Hal itu dilakukan menyikapi terjadinya kasus yang menimpa Softbank karena ‘ulah’ Wework dan Uber. “Intinya bagaimana startup bisa bersinergi dan bisa membawa nilai apa untuk investasi kita. Apakah startup punya konsep besar yang mampu mendorong profitabilitas dalam jangka panjang,” ujar Suwandi di sela-sela acara Nexticorn International Summit 2019 di Jimbaran Hub, Bali, Kamis (14/11). Daniel Tumiwa, Chairman yayasan independen Nexticorn menyampaikan investor akan semakin selektif dalam menaruh dana di perusahaan startup. Salah satunya mempertimbangkan lebih ketat karakter pendiri perusahaan (founder). “VC (venture capital/modal ventura) kemungkinan akan menyeleksi ulang founder yang memiliki basis keahlian developer. Peluang biaya akan jadi sangat efisien dibanding kalau founder-nya orang bisnis atau punya ide besar saja,” ungkap Daniel. Pasalnya berdasarkan pengalaman, banyak startup yang gagal mencapai pertumbuhan karena para pendirinya tak memiliki keahlian teknis di bidang digital. Selain faktor pendiri perusahaan, investor juga dianggap lebih selektif memilah startup yang memiliki konsep besar tak hanya mencapai pertumbuhan pengguna, tetapi juga meraih pendapatan dalam jangka panjang. “Kasus Wework kemarin terjadi karena Softbank sebagai investor terlalu percaya dan mendewakan Wework karena yakin bisa melipatgandakan uang. Sekarang investor lebih mengelola kerja ama, mengawasi, minta laporan, supaya ga terjadi,” paparnya. Kendati demikian, pola investor seperti itu akan menghambat startup dalam berinovasi yang mau tak mau memang melahirkan risiko.

Berbeda pendapat, Partner Convergence Ventures Donald Wihardja mengungkapkan kasus Wework terjadi karena penggelembungan valuasi. Dia meyakini hal itu tidak akan terjadi di Indonesia. Bisa dilihat, startup unicorn nasional memiliki valuasi yang relatif wajar. Perusahaan sejenis Wework yang ada di Indonesia pun tak mengklaim aset yang fantastis. “Lagipula di Indonesia terlihat masih banyak VC yang tertarik menanam modal, termasuk Softbank juga masih tertarik ke sini (Indonesia),” tuturnya. Senada dengan Donald, Ketua Dewan Pembina Nexticorn Rudiantara meyakini startup Indonesia tak akan mengalami hal yang sama seperti perusahaan rintisan di luar negeri. “Banyak yang bertanya apakah di Indonesia akan terjadi kasus seperti Wework atau Uber? Menurut saya hal itu tidak mungkin terjadi, ” ujar Rudiantara.

[Gambas:Video CNN] Alasannya, Indonesia masih memiliki pasar yang besar untuk dipenuhi kebutuhannya. Diketahui, total populasi Indonesia mencapai 264,16 juta, dengan pengguna internet mencapai 171 juta, dan total penetrasi hingga 64,8 persen. Menurut dia, perekonomian Indonesia pun masih stabil dan terjaga sehingga isu resesi ekonomi kemungkinannya sangat kecil untuk terjadi. Alasan pertama, pemerintah sangat peduli untuk menangani persoalan ekonomi, tentu dengan anggaran negara yang sangat prudent. Kedua, ruang fiskal negara masih sangat luas. Ketiga, secara makro ekonomi, pemerintah berfokus pada peningkatan investasi melalui banyak kebijakan insentif investasi. “Pemerintah seperti memberi karpet merah untuk investor,” Ucap pria yang pernah menjabat Menteri Komunikasi dan Informatika tersebut. Keempat, pemerintah tentu menyiapkan banyak kebijakan untuk menghadapi resesi. Kelima, pemerintah berfokus mengembangkan ekonomi digital. Pasalnya, pertumbuhan ekonomi pada kuartal III 2019 tercatat lebih dari 5 persen, dengan kontribusi dari sektor teknologi informasi dan finansial yang cukup besar. Terakhir, pemerintah dan pemangku kepentingan berupaya banyak untuk meningkatkan kapasitas sumber daya manusia di Indonesia. Hal ini akan mampu mendorong produktivitas, termasuk dalam perkembangan startup nasional.

Demikian berita ini dikutip dari CNNINDONESIA.COM untuk dapat kami sampaikan kepada pembaca sekalian.

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here