Gempa bumi yang mengguncang Bali, 16 Juli 2019. (Foto: ANTARA FOTO/Nyoman Hendra Wibowo)
LENSAPANDAWA.COM – Badan Meteorologi Klimatologi dan Geofisika (BMKG) menjelaskan rentetan gempa bumi di Indonesia tidak bisa disimpulkan sebagai gempa pendahuluan (foreshock) dari gempa yang lebih besar.
BMKG mencatat pada Agustus 2019 telah terjadi delapan gempa bumi signifikan di Busur Subduksi Sunda. Aktivitas gempa ini tersebar di segmen Megathrust Mentawai-Siberut hingga Segmen Megathrust Sumba.
“Kalau menurut saya masih wajar, memang kadang suka muncul klaster-klaster seismik aktif seperti itu dan belum tentu berujung terjadinya gempa besar di zona itu,” kata Kepala Bidang Mitigasi Gempa Bumi dan Tsunami BMKG, Daryono, saat dihubungi CNNIndonesia.com, Selasa (13/8).
Akan tetapi, Daryono mengakui adanya peningkatan aktivitas seismik di tiga klaster di Busur Subduksi Sunda. Daryono mengatakan BMKG akan terus memantau tiga klaster tersebut untuk mencari tahu apakah rentetan gempa merupakan aktivitas gempa pendahuluan.
“Monitoring BMKG menunjukkan adanya peningkatan aktivitas seismik, yaitu zona selatan Bali dan Banyuwangi, zona Cilacap dan Pangandaran, dan Selat Sunda. BMKG akan terus memonitor aktivitas seismik yang terjadi khususnya di tiga zona aktif tersebut,” jelasnya.
Ia mengatakan BMKG akan terus mengamati pola aktivitas seismik di spasial dan temporal di ketiga klaster tersebut untuk menjawab apakah rentetan gempa tersebut merupakan pendahuluan dari gempa besar.
Daryono juga memang mengakui gempa besar di dunia disebabkan oleh gempa pendahuluan. Fenomena rentetan gempa tersebut terjadi dalam Gempa Aceh 2004, Gempa Tohoku 2011, dan Gempa Chili 2014.
“Satu hal yang penting diingat bahwa tidak semua klaster aktif akan berujung kepada terjadinya gempa besar, meskipun setiap gempa besar selalu di dahului oleh serangkaian aktivitas gempa pendahuluan,” pungkasnya.