Sidang doktoral Unpad di tengah pandemi corona. (Dok. Agung Nugraha)
LENSAPANDAWA.COM – Agung Nugraha, salah satu mahasiswa jurusan Hubungan Internasional Program Pascasarjana Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Padjajaran (Unpad), dinyatakan lulus Sidang Ujian Doktor Terbuka pada Rabu (15/4) kemarin melalui konferensi video.
Hal ini mesti dilakukan pihak kampus karena kebijakan Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB) demi menekan pandemi virus corona SARS-Cov-2 (Covid-19). Agung mengatakan awalnya jadwal Sidang Ujian Doktor Terbuka dilakukan pada akhir Februari 2020.
Namun, karena ada salah satu dosen pengujinya yang tidak bisa hadir, maka sidang diundur sampai bulan Maret dan bertepatan dengan munculnya wabah Covid-19 di Indonesia untuk pertama kalinya.
“Akhir Februari mulai sidang, tetapi waktu itu ada salah satu penguji yang tidak bisa lalu harus menunggu supaya lengkap. Masuk di Maret, mulai heboh (Covid-19 masuk ke Indonesia), akhirnya pihak Unpad segala aktivitas pertemuan perkuliahan di-hold dulu,” kata Agung kepada CNNIndonesia.com, Kamis (16/4).
Lalu pihak akademik Unpad mengirimi Agung surat yang menawarkan untuk melakukan Sidang Ujian Doktor Terbuka secara online, ia pun langsung mengiyakan.
Sidang terbuka itu menggunakan platform Google Meet. Yang jadi perhatian Agung ialah terkait jaringan koneksi internet saat sidang berlangsung. Ia khawatir bakal ada hambatan koneksi.
“Deg-degan ada saat itu, sepanjang sidang ini koneksi akan bagus terus atau tidak. Masalah di infrastruktur kita soalnya,” tutur Agung.
“Pada saat berlangsung itu, interaksinya bagus menurut saya. Memang kemarin ada host-nya di Unpad itu mungkin pengalaman pertama mereka, ketika mereka menyebar undangan juga secara online, saya juga sebar ke kolega dan teman-teman, umumnya mereka kesulitan bergabung,” sambungnya.
Menurut Agung, ada sedikit kesalahan teknis dari pihak Unpad yang menyebabkan beberapa dari koleganya tidak bisa menyaksikan sidang terbuka itu.
Sebagai alternatifnya, Agung menyiarkan sidang terbuka melalui platform Youtube yang ia buat sehingga teman-temannya yang tidak bisa bergabung di Google Meet itu bisa menyaksikan lewat Youtube.
“Yang menarik dari sidang itu, interaksinya tidak ada bedanya dengan kalau kita sidang secara dunia nyata, ketemu secara fisik cuma tidak bisa mendengar orang tepuk tangan dan kita juga melihatnya di layar monitor saja,” kata dia.
Disertasi soal Terorisme SiberSelain menceritakan soal pengalamannya mengikuti sidang terbuka secara online, Agung juga sempat menceritakan latar belakang mengapa ia membuat disertasi dengan pembahasan terorisme siber di media sosial.
Ia menuturkan jika berbicara soal ruang siber, ada tiga lapisan (layer) yaitu lapisan infrastruktur, logical layer, dan social layer. Sebetulnya Agung ingin membahas tiga lapisan ini tetapi sang pembimbing menawarkan untuk memilih salah satu.
“Dari pengamatan awal saya yang benar-benar nyata itu baru di lapisan ketiga, akhirnya saya melanjutkan dengan ngambil disertasi Terorisme Siber pada Media Sosial karena lapisan sosial itu platform yang digunakan adalah media sosial dan media perpesanan,” tuturnya.
“Untuk layer pertama dan kedua, itu belum ada indikasi. Penyerangan terhadap layer kedua misalkan teroris dengan kemampuannya dia bisa melihat celah kerentanan pada sistem operasi Windows, Mac, iOS, kemudian Android ada juga aplikasi yang ada di Google Store yang gratisan itu pasti ada celah kerentanannya,” lanjut Agung.
Sementara untuk lapisan infrastruktur, biasanya teroris menyerang IP Address, nama domain. Lalu targetnya adalah infrastruktur kritis seperti perbankan, PLN, dan lainnya.
Menurut pengakuan pria yang juga bekerja di Badan Siber dan Sandi Negara (BSSN) ini, saat ia melakukan penyamaran agar bisa masuk grup teroris di Telegram, pendanaan dilakukan melalui layanan e-commerce dan dompet elektronik.
Mereka memanfaatkan layanan e-commerce karena perusahaan tidak memperketat keamanan proses jual beli yang ada di platform mereka.
“Misalnya saya pasang iklan jual kulkas 5 juta, tapi yang beli itu memang orang yang akan menyumbang ke dia, sudah ada komunikasi tertutup sebelumnya. Ini kode barangnya, dia transfer ke sana 5 juta, barangnya dikirim atau tidak kan bukan urusannya e-commerce,” terangnya.
“Apalagi virtual money, sudah ada e-wallet, bitcoin. Ini masalah kita masalah ke depan juga. Ada keterlibatan Bank Indonesia dan Otoritas Jasa Keuangan dalam hal ini, pelik permasalahannya karena teknologi yang makin cepat ini,” sambung Agung.
Apalagi kata Agung, PPATK (Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan) tidak bisa mendeteksi transaksi dengan jumlah kecil atau di bawah puluhan juta.
(din/DAL)