BANDUNG – Istilah Omnibus Law lebih sering terbaca dan terdengar akhir – akhir ini. Hakikat omnibus law adalah penerbitan UU baru yang memuat beragam substansi aturan yang keberadaannya mengamandemen beberapa UU sekaligus. Hal ini sebenarnya bukan sesuatu yang baru, hanya penggunaan istilah ini baru muncul beberapa bulan belakangan ini. Omnibus law diyakini mampu menyederhanakan kendala regulasi yang kerap berbelit-belit dan panjang. Disamping itu juga mampu memperbaiki ekosistem investasi dan daya saing Indonesia sehingga bisa memperkuat perekonomian nasional.
Omnibus law yang akan dibuat Pemerintah pada awalnya terdiri dari dua Undang-Undang (UU) besar, yakni UU Cipta Lapangan Kerja dan UU Perpajakan. Tetapi kemudian berkembang sesuai dengan kebutuhan, termasuk di antaranya Omnibus law kelautan.
Pemerhati kelautan Dede Farhan Aulawi yang dihubungi di Bandung, Sabtu (14/3) meyampaikan tanggapan ketika ditanya awak media perihal Omnibus Law Kelautan. Menurutnya omnibus law yang sedang ramai diperbincangkan saat ini, sebenarnya sudah dilakukan juga di beberapa negara lain sebagai strategi untuk menyelesaikan persoalan regulasi yang dianggap berbelit dan tumpang tindih. Dengan demikian, tujuan Omnibus Law pada dasarnya sangat baik, hanya saja saat penyusunan draft peraturan pemerintah yang baru sebelum diundangkan sebaiknya melibatkan semua pihak terkait agar ada kesepahaman dan saling pengertian. Ujar Dede.
” Jadi konsep dasarnya adalah membuat satu UU baru untuk mengamandemen beberapa UU yang sudah ada sebelumnya “, imbuhnya.
Kemudian Dede juga menyebutkan bahwa saat ini ada sekitar 17 Undang-undang yang mengatur soal kelautan. Dengan demikian penyederhanaan menjadi satu UU tentu akan lebih baik. Namun karena 17 Undang-undang tersebut menyangkut sejumlah instansi dan lembaga serta kementerian terkait, maka pembahasannya harus ekstra hati-hati. Misalnya Omnibus Law Kelautan sejak awal pembahasan harus melibatkan Polri.
Dede juga menyampaikan bahwa Polri pada dasarnya mengapresiasi dan mendukung adanya Indonesia Coast Guard sesuai tupoksinya karena memang sudah menjadi arahan dari Presiden RI. Namun dalam konteks penyidikan sebaiknya dilaksanakan oleh PPNS dan penyidik Polri sebagai korwas PPNS tersebut. Badan Nasional di atas sebaiknya tidak mengambil tupoksi dan kewenangan khususnya penegakan hukum yang telah diatur dalam UU dan peraturan yang berlaku. Sepengetahuannya, Polri hingga saat ini belum menerima draft RPP tersebut dan tidak dilibatkan dalam penyusunan draft RPP tentang Badan Nasional Keamanan dan Keselamatan di Laut. Oleh karena itu, Dede menegaskan bahwa sebaiknya Polri selalu dilibatkan dalam rapat pembahasan RPP di setiap tahapannya agar hasilnya lebih maksimal dan ada harmonisasi antar lembaga karena ada pembahasan tentang kewenangan penyidikan di dalamnya.
” Terlebih RPP Kamla ini akan ditindaklanjuti dalam Omnibus Law RUU Kamla. Jadi akan jauh lebih baik jika melibatkan Polri dalam penyusunan draft RPP ataupun RUU Kamla tersebut karena ada kaitan dengan proses penegakan hukum dan penyidikan Tindak Pidana di Perairan. Oleh karenanya jangan ada reposisi dan reduksi kewenangan penegakan hukum yang dilakukan oleh Polri dalam hal ini Polair. Terutama kewenangan Polri untuk melakukan penegakan hukum di wilayah perairan teritorial (12 mill) “, pungkas Dede mengakhiri percakapan. (FPRN)