Eijkman Ungkap 5 Fase Klinis Pasien Covid-19 hingga Tewas

0
158
Eijkman Ungkap 5 Fase Klinis Pasien Covid-19 hingga TewasIlustrasi virus corona. (iStockphoto/koto_feja)

LENSAPANDAWA.COM – Wakil Kepala Lembaga Biologi Molekuler Eijkman Bidang Penelitian Translasional, David Handojo Muljono menyatakan ada lima perjalanan klinis pasien Covid-19 akibat infeksi virus corona SARS-CoV-2. Dia mengatakan setiap fase memiliki ciri yang berbeda-beda.

Fase pertama, David mengatakan adalah fase tanpa gejala. Dia menyebut pada fase itu virus SARS-CoV-2 masuk ke dalam tubuh untuk melakukan inkubasi dan berkembang.

“Memasuki fase klinis yang kedua adalah fase dini,” ujar David dalam diskusi virtual, Kamis (14/5).

Pada fase dini, David menuturkan terjadi gejala yang tidak spesifik, seperti demam, sakit kepala, batuk (dengan atau tanpa produksi sputum), anoreksia, malaise, nyeri otot, sakit tenggorokan, sesak, kongesti hidung, diare, mual, atau muntah.

Pada fase sedang, David menyampaikan peran virus SARS-CoV-2 mulai berkurang. Akan tetapi, dia menyebut mulai muncul inflamasi atau radang, di mana yang diaktifkan adalah sistem imun tubuh. Khusus pada pasien remaja atau dewasa, dia berkata bisa tidak mengalami pneumonia.

“Ini harus diawasi karena pasien ini sudah termasuk pasien yang harus diobati. Dianjurkan dirawat di rumah sakit,” ujarnya.

Dalam fase sedang, David merinci mulai terjadi aktivasi sistem imun. Dia menyebut antigen presentation keluar seluruhnya. Kemudian cellular immunity menjadi hidup dan mulai membentuk humoral immunity yang menjadi indikator untuk melakukan IgM (Immunoglobulin M) dan IgG (Immunoglobulin G).

Masuk pada fase berat, David membeberkan ditandai lewat hiperinflamasi atau radang hebat, di mana respon imun menjadi dominan. Dia juga berkata penderitaan pasien bukan karena virus SARS-CoV-2, melainkan hiperinflamasi.

Pada fase itu, dia mengingatkan petugas medis harus mengawasi pasien remaja/dewasa yang mengalami gejala pneumonia disertai dengan frekuensi meningkatnya pernapasan lebih dari 30 kali per menit; distress pernapasan berat; saturasi oksigen kurang dari 93 persen.

“Dan pasien anak (mengalami) batuk dengan kesulitan bernapas, distress pernapasan berat, dan tanda pneumonia berat misalnya tidak mau makan atau penurunan kesadaran berarti dia sudah masuk fase berat ini,” ujar David.

Dalam fase itu, David angkat bicara mengapa SARS-CoV-2 menyerang paru-paru. Dia berkata hal itu terjadi karena Angiotensin converting enzyme 2 (ACE2) diblok oleh virus daan mengalami penurunan.

Pada situasi itu, Angiotensin converting enzyme 1 (ACE1) mengalami peningkatan dan membuat enzim bekerja hingga terjadi kebocoran Alveoli.

“Ini karena permeabilitasnya meningkat akibat ACE2 tersebut,” ujarnya.

Selain paru-paru, dia mengatakan SARS-CoV-2 merusak endotel yang kemudian menimbulkan racun dan membuat hipertensi, mengaktifkan diabetes, gangguan neurologi, gangguan ginjal, dan trombosis.

Adapun hipertensi tubuh pada sistem kardiovaskular diawali dengan perikatan spike protein pada ACE-2 reseptor, yang diikuti inflamasi masif, reaksi endotel, berbagai gangguan metabolik, dan koagulasi.

“Sebagai catatan pada fase itu sudah tidak bicara tentang virus, tapi adalah dampak karena sistem imun menjadi kacau,” ujar David.

Sedangkan kondisi yang paling ditakutkan dari infeksi SARS-CoV-2, kata David adalah terjadinya Acute Respiratory Distress Syndrome (ARDS). Dia menyebut situasi itu adalah di mana paru-paru sudah tidak bisa bekerja meski dengan dukungan ventilator.

“Itu terjadi karena salah satunya alveoli sudah berubah dilapisi membran hialin,” ujarnya.

David menambahkan kondisi paru-paru pasien Covid-19 yang diotopsi setelah meninggal menunjukkan banyak sel-sel radang. Bahkan tes PCR hanya menemukan sedikit virus SARS-CoV-2. Selain itu, jaringan sudah terjadi fibrosis, seperti keloid.

“Bayangkan kalau pasien sembuh tidak akan seperti semula,” ujar David.

Pada kesimpulannya, David menyampaikan bahwa terdapat spektrum yang luas pada perjalanan penyakit Covid-19. Kerusakan orang, kata dia, lebih terjadi sebagai hasil interaksi virus dan respon imun tubuh.

“Masih banyak hal perlu dipelajari untuk dapat mengendalikan respon imun untuk mencegah dan mereversi kerusakan sebelum parah,” ujarnya.

(jps/DAL)

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here