Mahasiswa menggelar aksi demo di depan gedung DPR/ MPR, Jakarta. (Foto: CNN Indonesia/Safir Makki)
LENSAPANDAWA.COM – Riset Lembaga Studi dan Advokasi Masyarakat (ELSAM) mengatakan ketiadaan standar operasional prosedur di internal pemerintah terkait pemblokiran internet memunculkan isu potensi pemblokiran internet di Jakarta akibat eskalasi demo.
Deputi Direktur Riset ELSAM Wahyudi Djafar menjelaskan standar operasional prosedur ini terkait indikator-indikator yang membuat pemerintah memutuskan untuk memblokir akses internet.
“Semua tergantung eskalasi sebesar apa, tapi memang internal pemerintah belum ada prosedur yang jelas dalam situasi seperti apa penutupan internet dilakukan atau perlambatan bandwidth dilakukan,” kata Wahyudi saat dihubungi melalui sambungan telepon, Selasa (24/9).
“Publik juga tidak pernah tahu, sesungguhnya indikator yang digunakan pemerintah yang menjadi dasar atau jadi argumentasi untuk menutup internet.”
Wahyudi kemudian mempertanyakan kebijakan penutupan akses internet tersebut. Pasalnya penutupan internet tidak pernah didasari oleh keputusan hukum yang resmi dan jelas. Padahal internet sudah menjadi hajat hidup masyarakat.
“Ini hanya semata siaran pers, bukan keputusan hukum yang bisa diuji di pengadilan dan diperdebatkan apa dasar dan argumentasi pemerintah ketika akan melakukan penutupan, ini yang juga menjadi persoalan dalam konteks prosedur,” katanya.
Padahal serangkaian prosedur harus dilakukan ketika akan melakukan penutupan akses internet. Pertama penutupan diatur oleh hukum, Wahyudi mengatakan pemerintah memang diberi wewenang otoritas untuk melakukan pembatasan.
Kedua adalah pemblokiran harus memiliki tujuan yang sah dengan alasan yang jelas. Misalnya menyangkut kepentingan nasional yang mendesak atau ketertiban umum.
Ketiga adalah kepentingan (necessity) atau penutupan internet sangat dibutuhkan. Apabila pemblokiran internet tidak dilakukan, maka semua kepentingan lain atau hak-hak asasi manusia yang lain akan terganggu.
Wahyudi mengatakan ada aspek proporsional yang harus diperhatikan saat melakukan penutupan akses internet. Jika tidak, malah ada banyak hal yang terganggu akibat penutupan akses internet.
Hanya saja, pemerintah tidak melakukan ketiga prosedur di atas. Padahal, ketiganya merupakan turunan dari Pasal 19 International Covenant on Civil and Political Rights (ICCPR) dan menjadi prasyarat untuk melakukan pembatasan terhadap kebebasan berekspresi.
“Kita tidak pernah melihat prosedur prosedur itu dilakukan, kemudian tiba tiba muncul atas nama untuk cegah peredaran hoaks disinformasi maka kemudian dilakukan penutupan akses atau perlambatan akses internet,” kata Wahyudi.