Gagal beli ventilator dari China, Brazil gunakan industri lokal

0
162
Gagal beli ventilator dari China, Brazil gunakan industri lokalIlustrasi – Ventilator rumah sakit. ANTARA/Shutterstock/am

LENSAPANDAWA.COM – Menteri Kesehatan Brazil Luiz Henrique Mandetta pada Rabu (8/4) mengatakan pihaknya akan mencari perusahaan asal Brazil yang dapat membuat ventilator setelah gagal membeli alat bantu pernapasan itu dari China.

"Pada praktiknya, seluruh permintaan pembelian alat dari China belum dikonfirmasi," kata Menteri Mandetta saat jumpa pers.

Ia menjelaskan upaya membeli 15.000 unit ventilator dari China gagal, tetapi Brazil akan menempuh upaya baru. Namun, upaya itu belum tentu dapat memenuhi kebutuhan mengingat tingginya permintaan menyangkut perlengkapan medis di tengah pandemi global COVID-19.

Mandetta pekan lalu mengatakan telah membuat penawaran dengan harga lebih tinggi untuk alat dari China dan pada Selasa (7/4) ia mengaku menghadapi "kesulitan" menjamin pembelian ventilator.

Salah satu sinyal positif datang dari pelaku usaha. Salah satu perusahaan milik swasta mengatakan mereka dapat membeli 40 ton masker dan alat uji COVID-19 dari China. Barang itu akan dikirim via pesawat kargo dan tiba di Brasilia, Rabu (8/4).

Perusahaan asal Brazil, Nutriex, membeli enam juta masker dan alat pelindung diri lain senilai 160 juta reais (setara dengan 494 miliar). Nutriex, yang berpusat di Goiania, 220 kilometer (138 mil) dari timur Brasilia, berencana menyumbangkan sebagian barang tersebut ke lembaga kesehatan.

Otoritas kesehatan di Brazil pada minggu ini mengingatkan soal kelangkaan alat kesehatan karena kekurangan pasokan serta jumlah tinggi pasien positif COVID-19. Pemerintah mencatat per Rabu (8/4) jumlah pasien positif mencapai 15.927 jiwa dan 800 di antaranya meninggal dunia. Dalam waktu 24 jam terakhir, 133 orang meninggal dunia akibat COVID-19, terang Kementerian Kesehatan.

Rio de Janeiro melaporkan kasus kematian pertama akibat COVID-19 yang ditemukan di pemukiman kumuh, wilayah yang populer dengan nama favela. Otoritas terkait khawatir penyakit akan cepat menular di pemukiman padat tersebut. Pasalnya, di favela, warga tidak punya cukup akses terhadap layanan kesehatan, air bersih, dan fasilitas sanitasi/kebersihan.

Sementara itu, dua dari enam kasus kematian ditemukan di Rocinha, salah satu wilayah kumuh terbesar di Amerika Selatan. Virus SARS-CoV-2, penyebab COVID-19, telah menyebar ke 10 favela di Rio dan kemungkinan berdampak pada dua juta orang, kata Kantor Wali Kota Rio.

Mandetta turut melaporkan kasus pertama COVID-19 yang ditemukan pada Suku Yanomami, masyarakat adat terbesar di Hutan Amazon. Ia mengatakan pemerintah berencana membangun rumah sakit lapangan untuk para masyarakat adat yang rentan tertular virus.

"Kami sangat prihatin dengan risiko penularan yang dihadapi masyarakat adat," kata Mandetta.

Para antropolog dan ahli kesehatan mengingatkan COVID-19 dapat berdampak buruk terhadap 850.000 masyarakat adat di Brazil yang tidak mengindahkan aturan jaga jarak.

Presiden Jair Bolsonaro dalam pidatonya mengatakan obat antimalaria hydroxychloroquine dapat menyelamatkan nyawa pasien COVID-19. Ia mengusulkan obat itu digunakan dalam fase pertama perawatan pasien.

Akan tetapi, karena kurang bukti ilmiah mengenai efektivitas dan keamanan obat, otoritas kesehatan Brazil membatasi penggunaannya untuk pasien berpenyakit parah yang telah dirawat di rumah sakit.

Mandetta mengatakan pemerintah telah menggandeng pembuat peralatan medis dalam negeri, Magnamed, untuk membuat 6.000 ventilator dalam 90 hari.

Sementara itu, perusahaan pembuat pulp dan kertas, Suzano SA dan Klabin SA, pembuat pesawat Embraer SA, penyedia jasa informasi dan teknologi Positivo Techologia SA, produsen otomotif Fiat Chrysler, juga telah menawarkan bantuan untuk membuat ventilator, kata Mandetta.

Sumber: Reuters

Demikian berita ini dikutip dari ANTARANEWS.COM untuk dapat kami sampaikan kepada pembaca sekalian.

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here