Ilustrasi. (Foto: Alastair Pike / AFP)
LENSAPANDAWA.COM – Undang-undang Informasi Transaksi Elektronik (UU ITE) masih diwarnai polemik dan kontroversi di penghujung pemerintahan kabinet Joko Widodo. Revisi yang sudah pernah dilakukan pada 2016 dianggap tidak memuaskan.
Pengamat menyebut terdapat poin-poin baru yang meresahkan pada revisi tersebut. Sebab, revisi ini dianggap bisa memberangus kebebasan berpendapat dan mendapat informasi.
SAFEnet (Southeast Asia Freedom of Expression Network) dan PAKU ITE (Paguyuban Korban UU ITE) bahkan meminta sejumlah pasal dihilangkan. SAFEnet risau dengan pasal 26, 27, 28, 29, dan 40 dari UU ITE. Sementara PAKU ITE gusar dengan pasal 27 dan 28.
SAFEnet meminta agar pasal-pasal tersebut dihilangkan dari UU ITE. Alasannya, aturan seperti pencemaran nama baik dan ancaman sudah diatur di KUHP. Sehingga, terjadi pengulangan aturan di UU ITE.
PAKU ITE juga mengajukan usul agar pasal 27 dan 28 dihilangkan. Alasan yang diajukan sedikit berbeda. Menurut PAKU ITE pasal itu sebaiknya dijadikan delik perdata.
“Masuk ke ranah perdata supaya ada penyeimbangan hak pelapor dan terlapor. Sehingga mereka bisa saling membuktikan apa maksud dan tujuan saling memposting (konten negatif itu),” tutur Muhammad Arsyad, Ketua PAKU ITE lewat sambungan telepon, Jumat (18/10).
Berikut pembeberan sejumlah pasal yang mendapat sorotan dan sempat menimbulkan kontroversi di Indonesia sepanjang 2014-2019.
Pasal 26 (3): hak untuk dilupakan
Pasal ini memuat aturan kalau seseorang berhak untuk meminta agar penyedia layanan menghapus jejak digital mereka di suatu platform berdasarkan putusan pengadilan.
Menurut Damar Juniarto, Executive Director of SAFEnet, aturan mengenai hak untuk dilupakan ini pada dasarnya adalah soal privasi dari data seseorang,namun data itu sudah tidak relevan. Selain itu, diberi batasan juga soal siapa dan pada medium apa data bisa dihapus.
“Misal seorang kriminal dengan kejahatan berat dia tidak bisa minta data dirinya dihapus di internet. Tidak berlaku juga untuk arsip-arsip media massa, karena di situ ada hak masyarkat untuk mengetahui informasi,” tuturnya saat dihubungi lewat sambungan telepon, Jumat (18/10).
Pasal 27: Kesusilaan dan pencemaran nama baik
Pasal ini mengatur soal perbuatan yang dilarang oleh mereka yang mendistribusikan, mentransmisikan, atau membuat konten yang melanggar kesusilaan (ayat 1), perjudian (ayat 2), penghinaan dan pencemaran nama baik (ayat 3), pemerasan dan ancaman (ayat 4).
Aturan ini dianggap tidak memiliki batasan dan definisi yang jelas. Sehingga, bisa diartikan sesuai dengan keinginan penafsir.
Salah satu yang dipermasalahkan adalah soal definisi kesusilaan pada ayat 1. Pasca kasus Kimi Hime yang juga dijerat UU ITE ayat 1, Kemenkominfo mengadakan diskusi terkait definisi kesusilaan di pasal ini. Namun, belum ada kesepakatan yang diketok palu terkait pelanggaran kesusilaan yang dimaksud dalam pasal ini.
Sebelumya, Wahyudi Djafar, Deputi Direktur Riset ELSAM menyebut tanpa definisi yang jelas tertuduh tidak bisa berargumen apakah konten yang ia buat memang melanggar atau tidak.
Pasal ini juga kerap membingungkan. Misal yang terjadi pada kasus mantan guru asal Mataram, Baiq Nuril. Baiq dinyatakan melanggar pasal 27 (1) karena dianggap menyebarluaskan konten asusila. Padahal menurut PAKU ITE, Baiq membuat konten itu untuk mempertahankan diri.
“Baiq Nuril korban, dia berupaya menghindar perbuatan tercela dari atasan, tapi malah terjerat […] Kita tidak tau dari mana salahnya, dia tidak secara aktif menyebarkan rekaman tersebut,” jelas Arsyad.
Lanjut ke ayat (3), ini adalah ayat yang paling populer dipakai untuk menjerat dengan UU ITE. Catatan SAFEnet, pada 2018 ayat pencemaran nama baik paling banyak mendapat laporan.
Kasus-kasus yang terjerat pasal ini diantaranya adalah dua istri anggota TNI yang nyinyir soal penusukan Menkopolhukam Wiranto. Musisi dan politikus Gerindra Ahmad Dhani. Terdakwa video ‘Penggal Jokowi’ saat unjuk rasa di Bawaslu, Ina Yuniarti. Serta pelaku penghinaan Presiden dengan akun Facebook Aida Konveksi yang menyebut Jokowi sebagai Firaun. [Gambas:Video CNN]
Pasal 28: hoaks dan ujaran kebencian
Pasal ini menjelaskan pelarangan atas penyebaran berita bohong dan menyesatkan pada ayat 1 dan ujaran kebencian berbau SARA (suku, agama, ras) di ayat 2. Beberapa pekan lalu, aktivis Dandhy Laksono terjerat pasal ini atas cuitannya mengenai kerusuhan di Wamena.
“Ini yang kita tidak mau. Karena sekarang makin mudahnya kita akses informasi […] suka tidak suka pemerintah harusnya memberi ruang (kebebasan berekspresi) bagi orang-oirang,” tambah Arsyad.
Pasal 29: ancaman
Pasal ini terkait ancaman kekerasan atau menakut-nakuti yang ditujukan secara pribadi. Menurut Damar, serupa dengan pasal 27 dan 28, pasal ini pun mengandung rumusan tidak jelas, penerapan di lapangan kacau tidak tertib, serta memberikan dampak sosial yang besar. “Dicabut aja, karena toh sudah aturan tersebut sudah diatur di KUHP dan hukum pidana lain,” tuturnya.
Pasal 40: pemblokiran konten
Pasal ini terkait dengan kewenangan pemerintah untuk pemblokiran konten (ayat 2a), pembatasan akses konten dan internet (ayat 2b).
Menurut Damar revisi UU ITE tahun 2016 pada kedua ayat ini harus dibenahi. Sebab, menurut Damar pemerintah tidak bisa melakukan pemblokiran sewenang-wenang tanpa pengawasan.
Pembatasan internet yang terjadi di Papua dan Wamena menurut Damar hanya sepihak. Karena pemerintah tidak memiliki standar dan audit yang menjadi dasar penilaian bilamana pemblokiran perlu dilakukan.
“Mestinya atasnya ada pengawasan dan mekanisme yang mengatur. Sehingga ia tidak overcontrol,” jelasnya.
Aturan yang sama juga digunakan pemerintah untuk memblokir sejumlah layanan aplikasi yang dinilai melanggar kesusilaan. Misal kasus stiker GIF porno di WhatsApp, konten asusila di Bigo Live, TikTok, dan Tumblr.
Menurut Wahyudi tata cara pemblokiran konten negatif ini mestinya diatur secara rinci. Aturan itu juga mesti mengatur prosedur pemblokiran hingga mekanisme pembukaan blokir.
Wahyudi mengatakan tidak jelasnya kategori konten negatif membuat peraturan ini hanya menguntungkan bagi pemerintah. Sementara bagi pihak yang menjadi ‘korban blokir’ tidak bisa berargumen atau mempertanyakan kebijakan pemblokiran.
Selain itu, menurut Wahyudi berdasarkan standar internasional, tindakan pembatasan konten dalam bentuk pemblokiran atau penapisan (filtering) itu harus dilakukan oleh institusi pengadilan atau badan lain yang independen. Jika hal ini dilakukan dibawah kementerian ia khawatir akan rawan diwarnai unsur politis.