Kisah Yazid, peneliti obat kanker dari tanaman Bajakah

0
156
Kisah Yazid, peneliti obat kanker dari tanaman BajakahPeneliti obat kanker dari tanaman Bajakah, Yazid Rafli Akbar (pertama kiri), Aysa Aurelia Maharani (kedua kanan), dan Anggina Rafitri (pertama kanan) berfoto bersama usai diberi piagam penghargaan oleh Menteri Pendidikan dan Kebudayaan, Muhadjir Effendy (kedua kiri) di Jakarta, Sabtu (17/8/2019). Mereka diberi penghargaan atas prestasi memenangkan medali emas bidang Life Sciences pada ajang World Invention Creativity Olympic (WICO) di Seoul, Korea Selatan. (ANTARAnews/ Abdu Faisal)

LENSAPANDAWA.COM – Yazid Rafli Akbar (16) menyalami Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Muhadjir Effendy setelah diganjar penghargaan saat upacara HUT Ke-74 Republik Indonesia di Kantor Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan di Senayan Jakarta, Sabtu.

Yazid tak sendiri. Ia bersama dua kakak kelasnya dari SMA Negeri 2 Palangka Raya, yakni Anggina Rafitri (17) dan Aysa Aurealya Maharani (17). Ketiga siswa itu diberikan piagam penghargaan karena karya ilmiah mereka berjudul "Bajakah Tunggal, The Cancer Medicine from Nature" meraih medali emas bidang Life Sciences pada ajang World Invention Creativity Olympic (WICO) di Seoul, Korea Selatan, selama 25-27 Juli 2019.

Ide meneliti tanaman Bajakah didapatkan mereka dari tradisi turun-temurun keluarga besar Yazid.

“Inspirasi dari neneknya Yazid yang menggunakan kayu Bajakah turun-temurun. Nenek Yazid menderita kanker payudara, tetapi setelah mengonsumsi kayu Bajakah, sembuh sampai sekarang,” kata Anggina.

Berawal dari kearifan lokal itu disertai pengalaman empiris nenek Yazid, mereka pun sepakat mengujicobakan akar itu menjadi obat kanker.

Peneliti obat kanker dari tanaman Bajakah, Aysa Aurelia Maharani (kiri), dan Anggina Rafitri (kanan) menghormat bendera Merah Putih. (ANTARAnews/ Abdu Faisal)

Kepala SMA Negeri 2 Palangka Raya M. Mirazulhaidi menyatakan bangga atas prestasi yang ditorehkan siswa-siswinya itu.

Apalagi, mereka sampai diundang langsung Mendikbud Muhadjir Effendy untuk diberi penghargaan atas karya ilmiah mengenai tumbuhan penyembuh kanker dengan bahan baku alami, berupa batang pohon tunggal atau di Suku Dayak dikenal dengan nama Bajakah.

Ia mengatakan ketiga siswa-siswinya itu anggota kegiatan ekstrakurikuler mingguan yang diadakan di sekolah. Helita Gusran, pembimbing mereka di sekolah adalah orang yang membimbing kegiatan ekstrakurikuler tersebut.

“Sekolah ikut memfasilitasi (penelitian, red.). Misalnya uji laboratorium Universitas Lambung Mangkurat (ULM), biar mereka yakin benar mereka anak SMA Negeri 2 ya dengan surat dari kami, baru universitas percaya,” ujar dia.

Dengan bimbingan pembina ekstrakurikuler dan guru-guru sekolahnya, mereka kemudian mengawali penelitian dengan uji pendahuluan di laboratorium sekolah. Penelitian dilanjutkan dengan uji sampel menggunakan dua ekor mencit atau tikus kecil yang sudah diinduksi atau disuntikan zat pertumbuhan sel tumor atau kanker.

“Kami penelitian dari pertengahan 2018, ada prosedurnya dari guru pembimbing,” ujar Yazid.

Setelah sel kanker berkembang di tubuh tikus, mereka lalu memberikan dua penawar atau obat yang berbeda terhadap kedua tikus. Satu tikus diberikan air rebusan yang berasal dari Bajakah berhasil bertahan hidup, sedangkan yang lainnya mati.

Setelah melalui pembuktian terhadap media uji, pada awal Mei 2019, penelitian dilanjutkan dengan memeriksa kadar kayu Bajakah melalui uji laboratorium. Tahapan itu bekerja sama dengan pihak laboratorium Universitas Lambung Mangkurat, Banjarmasin, Kalimantan Selatan.

Berdasarkan hasil tertulis uji laboratorium Universitas Lambung Mangkurat, ketiga siswa dibantu guru pembimbingnya mengikutsertakan hasil penelitian mereka ke ajang kompetisi yang diadakan di Universitas Pendidikan Indonesia (UPI) Bandung pada Mei 2019.

“Kami menyajikannya kepada juri-juri. Terus kenapa sih ini bisa menyembuhkan kanker? Dari hasil uji lab dan pengalaman empiris membuat juri yakin. Diujicobakan dengan mencit, tikus. Kami ujicobakan, kemudian ada pengalaman empiris. Mereka percaya. Mencit disuntikkan zat pembuat kanker. Kemudian diobati dengan tanaman Bajakah. Berhasil ketika berdasarkan uji lab itu,” ujar Mirazul.

Dikatakan Aysa Aurelia Maharani, dari lomba di UPI itu mereka memenangkan kategori Best Costume, Best Innovation dan meraih medali emas untuk kategori Best Presentation. Kemenangan itu memberi tiket lanjutan untuk mereka mengekspose penelitiannya ke ajang WICO 2019 di Seoul, Korea Selatan.

“Kami lomba di Bandung, terus ada kesempatan tindak lanjut ke Korea. Kami persiapkan lagi dengan kerja sama antara sekolah, pemerintah, dan orang tua kemudian kami persiapkan sampai ke Korea,” ujarnya.

Belum bisa

Yazid Rafli Akbar belum bisa membeberkan berapa lama neneknya mengonsumsi akar Bajakah hingga akhirnya sembuh dari sel kanker yang menggerogoti tubuhnya.

Penelitian yang mereka lakukan sebatas karya ilmiah dan belum bisa menjadi dasar pembuktian pengobatan manusia.

“Yang kami tahu, Bajakah punya banyak varietasnya. Tidak semuanya bisa digunakan untuk menyembuhkan kanker. Malah ada yang digunakan untuk mabuk ikan, berburu, perang, macam-macam kegunaannya. Berhati-hati penggunaannya,” ujarnya.

Tanaman yang digunakan dalam penelitian berasal dari pedalaman hutan Kalimantan,

“itu yang baru kami tahu,” ujar Yazid.

Ia menolak merinci di mana menemukan tanaman akar tersebut karena khawatir terjadi eksploitasi berlebihan terhadap tanaman tersebut. Apalagi, akar Bajakah dipakai, ternyata tanaman langka.

Piagam penghargaan yang diterima peneliti obat kanker dari tanaman Bajakah, Yazid Rafli Akbar.

“Tolong dipilah-pilah dulu, karena kami belum mengetahui jenis-jenisnya. Jadi mohon dipilah-pilah lagi karena kami baru penelitian awal. Belum bisa dijadikan dasar pengobatan. Akan diadakan penelitian lebih lanjutlah. Fasilitas pemerintah nanti ada juga buat bantu kami meneliti lebih lanjut,” tambah Anggina.

Mereka berharap, pemerintah membantu penelitian lebih lanjut, sedangkan hal yang mereka kerjakan masih sebatas penelitian awal.

Mereka optimistis penelitiannya akan dapat membantu orang banyak. Mereka pun ada rencana untuk mematenkan penelitiannya jika sudah ada penelitian lanjutan.

“Penelitian kami masih sebatas karya ilmiah jadi belum bisa menjadi dasar dalam pengobatan. Tapi kalau penelitian dilanjutkan, insyaallah kami berharap bisa dipatenkan,” ujar Yazid.

Mereka memohon agar masyarakat Kalimantan terus menjaga hutannya karena Bajakah banyak jenisnya, sedangkan jenis yang dapat mengobati kanker termasuk langka karena susah didapat.

“Tolong jangan eksploitasi hutan karena itu berdampak pada ekosistem alam di negara yang kita cintai ini,” ujar Anggina.

Jadi contoh

Anggina, Yazid, dan Aysa dapat dijadikan contoh dalam program SDM Unggul Indonesia Maju yang diwacanakan Presiden Joko Widodo (Jokowi).

Usia mereka masih belia, namun semangat untuk membantu orang lain tak memandang usia. Siapa saja bisa berniat untuk menyembuhkan penyakit, apalagi bila penyakit tersebut sulit diobati.

Meskipun proses penelitian itu masih panjang hingga bisa dimanfaatkan oleh banyak orang, kreativitas yang sudah ditunjukkan layak menjadi satu acuan bagi perkembangan generasi muda di Indonesia.

Yazid sudah sejak SMP ingin sekali meneliti apa yang menjadi tradisi turun temurun di keluarganya. Namun, ayah Yazid melarang, sebab saat itu ia dituntut fokus pada kegiatan sekolahnya.

“Dari SMP dia mau penelitian, tapi saya larang. Saya bilang tunggu SMA, nah ketika SMA dia kejarlah penelitian itu. Karena itu adalah obat keluarga besar kami,” ujar ayah Yazid, Daldin, di Jakarta, Sabtu.

Daldin mengatakan anak keduanya itu gemar mata pelajaran IPA. Ia memiliki keingintahuan yang besar pada dunia ilmiah sebab Yazid bercita-cita menjadi konsultan ilmiah jika sudah dewasa.

Ketika dikonfirmasi ke Yazid, ia mengaku apa yang dikatakan ayahnya itu benar. Namun jika ditanya ingin berkuliah di jurusan apa, Yazid mengaku lebih senang dengan Jurusan Teknik Sipil.

“Pengin jadi konsultan apa saja untuk perusahaan, tapi senengnya Jurusan Teknik Sipil,” ujar Yazid.

Ia juga mengemukakan bahwa setiap orang memiliki kreativitas masing-masing yang perlu dikembangkan.

“Saya berpesan pada generasi seusia saya, coba gali kreativitas apa yang ada di diri kalian. Setiap orang punya kreativitas masing-masing. Kalau orang lain bisa kenapa kalian enggak?” ujarnya.

Yazid berhasil meraih medali emas saat ia masih duduk di kelas X, sewaktu kompetisi diadakan di UPI Bandung, sedangkan Anggina dan Aysa saat itu berada di kelas XI.

Oleh karena aturan kompetisi, ia harus mengajak serta kakak kelasnya itu. Dengan guru pembina, Herlina, mereka melakukan penelitian. Setelah persiapan matang, berangkatlah mereka ke kejuaraan nasional se-Indonesia. Dan dapat medali emas juga. Kemudian baru bisa pergi ke Korea. Ada hal menarik saat ikut kompetisi di Korea, ternyata Yazid dilarang ikut oleh orang tuanya.

Peneliti obat kanker dari tanaman Bajakah, Yazid Rafli Akbar (ketiga kiri), bersama Aysa Aurelia Maharani (keempat kiri), dan Anggina Rafitri (kelima kiri) berfoto bersama sejumlah staf Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan di Jakarta, Sabtu (17/8/2019). (ANTARAnews/ Abdu Faisal)

“Karena cuma mengekspose penelitian di Bandung saja, Yazid mempercayakan temannya saja. Yazid tidak berangkat karena saya tidak mengizinkan,” ujar Dandin.

Anggina dan Aysa pun berangkat ke Korea tanpa didampingi Yazid.

Namun, Yazid sama sekali tidak menyesal dilarang berangkat, sebab meski penelitian itu idenya, namun hasil penelitian tetap buah dari kerja sama.

Demikian berita ini dikutip dari ANTARANEWS.COM untuk dapat kami sampaikan kepada pembaca sekalian.

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here