Ilustrasi. (Foto: CNN Indonesia/Kustin Ayuwuragil)
LENSAPANDAWA.COM – Kementerian Komunikasi dan Informatika (Kemenkominfo) menyatakan akan melakukan evaluasi terhadap dampak pemblokiran internet di Papua dan Papua Barat. Seperti diketahui, sejak akses internet diblokir pada Rabu (21/8) seumlah layanan publik seperti BPJS hingga ojek online tidak dapat beroperasi.
Ditjen Aplikasi Informatika Kemenkominfo Semuel Abrijani Pangarepan menjanjikan evaluasi dampak blokir internet akan melibatkan sejumlah institusi terkait yang berwenang dalam mengamankan kondisi di Bumi Cendrawasih itu.
“Nanti kita evaluasi, kita jelaskan tentang itu karena kan kita ngomong ada evaluasi aparat yang mempunyai kewenangan terhadap keamanan dan keamanan itu nilainya lebih tinggi daripada yang lainnya,” kata Semuel usai bertemu dengan anggota Ombudsman RI membahas soal pemblokiran internet di Papua, di kantor Ombudsman RI, Jakarta, Rabu (28/8).
Lebih lanjut kata Semuel, pihaknya belum bisa memastikan kapan internet di Papua akan kembali normal sebab Kemenkominfo harus berkoordinasi dengan pihak keamanan apakah kondisi di Papua dan Papua Barat sudah kondusit atau belum.
Selain itu Kemenkominfo mengatakan penyebaran berita hoaks atau kabar bohong dan ujaran provokatif melalui situs atau URL maupun di media sosial mulai berangsur menurun.
“Kalau di sana sudah mulai menurun [kabar bohong dan provokatif],” pungkas Semuel.
Sebelumnya, Direktur Eksekutif South East Asia Freedom of Expression Network (SAFENet) Damar Juniarto melalui cuitan Twitter pribadinya menyebut akibat pemblokiran internet di Papua dan Papua Barat, sangat merugikan masyarakat.
Sebab, sejumlah pelayanan publik seperti BPJS hingga layanan ojek online tidak dapat beroperasi sehingga tidak mendapatkan penghasilan setelah sepekan terakhir Kemenkominfo memblokir akses internet.
Selain itu, SAFENet juga memberikan surat somasi kedua ke Kemenkominfo. Dalam pertemuan dengan Menteri Komunikasi dan Informasi Rudiantara, Damar kembali mempertanyakan alasan pembatasan akses serta mitigasi atau mengurangi risiko terhadap layanan publik yang tidak bisa digunakan warga Papua.