Petugas Teknologi Modifikasi Cuaca (TMC) memasukan garam ke dalam pesawat Cassa 212 TNI AU ketika akan melakukan operasi hujan buatan di Lanud Roesmin Nurjadin Pekanbaru, Riau, Rabu (27/2/2019). ANTARA FOTO/Rony Muharrman/hp.
LENSAPANDAWA.COM – Tahun 2020 belum seumur jagung, namun bencana hidrometeorologi sudah menyapa penduduk Nusantara. Banjir, tanah longsor, banjir bandang, puting beliung terjadi secara sporadis di Indonesia.
Aktifnya Monsun Asia yang terjadi setiap Desember hingga Februari, berupa embusan angin secara periodik dari Benua Asia menuju Australia yang melewati Indonesia, mengindikasikan musim hujan sedang berlangsung.
Benua Asia di belahan bumi utara, kata Kepala Bidang Prediksi dan Peringatan Dini Cuaca Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika (BMKG) Miming Saepudin, saat ini sedang mengalami musim dingin, sedangkan Australia di belahan selatan berada di musim panas. Indonesia yang berada di garis di khatulistiwa terdampak pergerakan angin tersebut.
Cuaca ekstrem yang sedang terjadi pada awal 2020 merupakan imbas dari pola konvergensi dan perlambatan kecepatan angin di beberapa wilayah Indonesia. Itu membuat uap air yang menjadi awan hujan terkonsentrasi di suatu wilayah sehingga air yang turun intensitasnya tinggi.
Hujan lebat dan dalam waktu lama dapat terjadi akibat konvergensi dan perlambatan tersebut.
Suhu hangat permukaan laut di Indonesia dan sekitarnya, menurut dia, juga memicu mudahnya air menguap ke udara dan terkumpul menjadi awan hujan. Hal itu menambah pasokan uap air cukup tinggi untuk mendukung pembentukan awan hujan.
Selain itu, ada juga fenomena gelombang atmosfer, yaitu Equatorial Rossby Wave dan Kelvin Wave yang menjadi penyebab meningkatnya potensi udara basah di sejumlah wilayah Indonesia.
Semua terjadi pada waktu bersamaan membuat cuaca ekstrem terjadi di Indonesia.
Curah hujan
Data intentitas curah hujan BMKG saat pergantian tahun 2019-2020 dari beberapa titik pengukuran, di antaranya dari TNI AU Halim Perdanakusuma mencapai 377 milimeter per hari, Taman Mini Indonesia Indah 335 mm per hari, dan Jatiasih Bekasi 259 mm per hari.
Sebagai perbandingan, BMKG mencatat intensitas curah hujan saat Jakarta mengalami banjir besar, di antaranya pada 1996 mencapai 216 mm per hari, pada 2002 mencapai 168 mm per hari, pada 2007 mencapai 340 mm per hari, pada 2013 mencapai 100 mm per hari, pada 2015 mencapai 277 mm per hari, dan pada 2016 mencapai 100-150 mm per hari.
Deputi Klimatologi BMKG Herizal mengatakan sebaran curah hujan ekstrem tersebut awal 2020 lebih tinggi dan lebih luas dari pada banjir-banjir sebelumnya, termasuk banjir Jakarta 2007 dan 2015.
Curah hujan 377 mm per hari di Halim Perdana Kusuma rekor baru sepanjang ada pencatatan hujan di Jakarta dan sekitarnya, sejak pengukuran pertama kali dilakukan pada 1866, zaman kolonial Belanda.
BMKG menyebutkan perubahan iklim meningkatkan risiko curah hujan ekstrem yang menjadi salah satu penyebab banjir di Jabodetabek.
Pengkajian data historis curah hujan harian BMKG selama 150 tahun (1866-2015), terdapat kesesuaian tren antara semakin seringnya kejadian banjir signifikan di Jakarta dengan peningkatan intensitas curah hujan ekstrem tahunan sebagaimana terjadi pada 1 Januari 2020.
Curah hujan ekstrem lebih dari 150 mm per hari yang turun cukup merata di wilayah DKI Jakarta telah memicu banjir besar seperti 2015 dan 2007.
Data 43 tahun terakhir di wilayah Jabodetabek, curah hujan harian tertinggi per tahun mengindikasikan tren kenaikan intensitas 10-20 mm per-10 tahun.
Analisis statistik ekstrem data series 150 tahun Stasiun Jakarta Observatory BMKG untuk perubahan risiko dan peluang terjadinya curah hujan ekstrem penyebab kejadian banjir dengan perulangan sebagaimana periode ulang kejadian 2014, 2015, termasuk bila kejadian 2020 diperhitungkan, di Jakarta menunjukkan bahwa peningkatan dua hingga tiga persen bila dibandingkan dengan kondisi iklim 100 tahun lalu.
"Hal ini menandakan hujan-hujan besar yang dulu jarang, kini lebih berpeluang kerap hadir pada kondisi iklim saat ini," katanya.
Curah hujan ekstrem awal 2020 salah satu kejadian hujan paling ekstrem selama ada pengukuran dan pencatatan curah hujan di Jakarta dan sekitarnya berdasarkan batasan persentil 99 persen dan 99,9 persen. Curah hujan ekstrem tertinggi selama ada pencatatan sejak 1866.
Cegah banjir
Kepala Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi (BPPT) Hammam Riza mengatakan Teknologi Modifikasi Cuaca (TMC) kembali akan dilakukan sebagai upaya mencegah bencana banjir besar berulang di wilayah Jabodetabek.
“Kita perlu data-data cuaca yang akurat dari BMKG, terkait awan hujan, pergerakan angin, dan lain-lain sehingga ahli TMC bisa simulasi dan antisipasi," ujar dia.
Operasi TMC guna mengurangi curah hujan agar tidak terfokus di satu lokasi saja yang menjadi penyebab banjir di Jabodetabek itu, dilakukan berdasarkan analisis pertumbuhan awan penyebab hujan.
Awan-awan tersebut berasal dari sebelah barat dan barat laut Jabodetabek yaitu Selat Sunda, Lampung, dan sekitarnya.
Kepala Balai Besar Teknologi Modifikasi Cuaca (BBTMC) BPPT Tri Handoko Seto mengatakan operasi TMC itu ditargetkan dapat mengurangi 30-50 persen hujan yang diperkirakan akan turun di wilayah Jabodetabek.
Pagi hari dilakukan prediksi dan monitoring pertumbuhan dan pergerakan awan.
"Semua awan yang bergerak ke Jabodetabek dan diperkirakan akan hujan di Jabodetabek akan disemai dengan pesawat menggunakan bahan semai NaCl. Diharapkan, awan akan jatuh sebelum memasuki Jabodetabek," ujar dia.
BPPT merencanakan menurunkan hujan tersebut ke Selat Sunda atau Lampung, namun jika arah angin ke timur akan diturunkan ke waduk-waduk, seperti Jatiluhur dan Jatigede.
BPPT bersama TNI Angkatan Udara yang menggunakan pesawat CN295 yang membawa sekitar 2,4 ton garam dan Cassa 212 yang membawa 800 kilogram garam mulai melakukan empat sortie penerbangan pada Jumat (3/1).
Mereka akan melakukan dua sortie penerbangan, masuk menembus awan-awan pembawa hujan, lalu menebar garam di dalam awan-awan tersebut pada pagi hari, sekitar pukul 09.00 WIB.
Selanjutnya dilakukan selepas pukul 13.00 WIB dengan pertimbangan kondisi cuaca aman untuk penerbangan.
BPPT menganalisis posisi-posisi awan pembawa hujan ke Jabodetabek.
Mereka yang memperhitungkan kapan dan di mana garam-garam tersebut ditaburkan ke awan-awan jenuh pembawa air hujan.
TNI AU mendukung kesiapan pesawat untuk operasi TMC tersebut, tidak hanya untuk mencegah bencana banjir di Jabodetabek namun juga di wilayah Indonesia lainnya.
Demikian berita ini dikutip dari ANTARANEWS.COM untuk dapat kami sampaikan kepada pembaca sekalian.