Ilustrasi doxing. (Istockphoto/ iLexx)
LENSAPANDAWA.COM –
Pengumbaran data pribadi terjadi dalam kasus kebocoran data yang dialami penggiat media sosial, Denny Siregar. Kasus ini diawali oleh data-data Denny yang dibocorkan oleh akun anonim @opposite6891.
Selang beberapa hari akun @opposite6891 dibalas oleh akun anonim @xdigeeembok. Akun tersebut mengumbar informasi mengenai @opposite6891, mulai dari media sosial orang dibalik akun, tim yang menjalankan akun hingga anak dari salah satu anggota tim.
Akun @xdigeeembok bahkan membuat sebuah utas (thread) untuk menampilkan informasi-informasi @opposite6891.
Direktur Eksekutif SAFEnet Damar Juniarto mengatakan praktik pengumbaran data pribadi seseorang disebut sebagai doxing. Doxing adalah sebuah praktik yang bertujuan untuk melakukan intimidasi dan ancaman kepada seseorang lewat penyebaran data pribadi orang tersebut.
“Doxing adalah proses mengumpulkan informasi yang dapat diidentifikasi tentang seseorang atau sekelompok orang, dengan tujuan untuk mempermalukan, menakut-nakuti, memeras, memfitnah, menggertak, atau membahayakan target,” ujar Damar saat dihubungi CNNIndonesia.com, Rabu (8/7).
Damar menjelaskan beberapa individu melakukan doxing karena keingintahuan umum tentang seseorang atau perusahaan, namun tak sedikit memiliki motif yang kurang terhormat.
Motif tersebut termasuk balas dendam, pemerasan, atau membuat malu target.
Damar juga menjelaskan memposting rincian pribadi seseorang secara publik sering dilakukan dengan sebuah kesadaran bahwa hal itu berpotensi membahayakan individu yang ditargetkan, terutama jika orang tersebut adalah seorang petugas penegak hukum, seorang agen yang menyamar atau individu yang terkenal.
“Kalau di Asia Tengara itu terjadi, di Filipina itu jurnalis. Doxing itu bertujuan untuk menimbulkan rasa malu, mengungkap kehidupan pribadi jurnalis, dengan maksud membungkam jurnalis menulis yang tidak disukai pelaku doxing,” kata Damar.
Lebih lanjut, Damar mengatakan seorang pelaku doxing kemungkinan akan menyeret keluarga dan kadang-kadang teman dari target, terkadang termasuk anak-anak.
Kadang-kadang, doxing menetapkan target untuk kejahatan dunia maya lebih lanjut termasuk pencurian identitas, kartu kredit dan atau penipuan kartu debit, phishing, peretasan atau kejahatan dunia maya lainnya.
“Memposting informasi pribadi secara publik dengan maksud untuk dipermalukan, mencemarkan nama baik, melecehkan atau membahayakan adalah ilegal. Ini menempatkan individu yang mengalami doxing dalam situasi yang berpotensi berbahaya,” ujar Damar.
Soal perlindungan hukum untuk doxing, Damar menjelaskan idealnya memang dibutuhkan UU Perlindungan Data Pribadi. Sayangnya RUU Perlindungan Data Pribadi tak kunjung dibahas di DPR.
Padahal Damar mengatakan di draf RUU PDP ada pasal yang bisa melindungi orang dari praktik doxing.
“Ada satu pasal yang bisa dipakai untuk melindungi orang dari doxing. Ketika suatu data diubah dan mengancam, untuk pasal itu ada ancaman pidana,” kata Damar.
Di sisi lain, Damar mengatakan sesungguhnya UU ITE dan KUHP membahas perlindungan orang terhadap penyalahgunaan data. Dalam Pasal 29 UU ITE larangan mengirimkan informasi dan/atau dokumen elektronik yang berisi ancaman kekerasan atau menakut nakuti.
Pasal 45B UU ITE mengatur orang yang melanggar pasal 29 UU ITE bisa dipidana dengan pidana penjara paling lama 4 tahun dan/atau denda paling banyak Rp750 juta.
“Kalau memang mekanisme perlindungan payung hukum masih lemah, kita bisa pakai KUHP. KUHP mengatur orang tak boleh ancaman orang lain sampai orang lain merasa ketakutan,” ujar Damar.
Damar mengatakan sekarang tergantung pada aparat penegak hukum apakah mau melakukan penindakan hukum terkait doxing. Sebab Damar mengatakan doxing telah terjadi sejak 2017 dengan target jurnalis maupun aktivis.
Di sisi lain, Damar tidak melihat adanya pelaku doxing yang dipidanakan.
“Jadi kalau kepolisian mau, dan cukup percaya diri untuk menangkap pelaku doxing akan bagus dan akan jadi penanda bahwa orang masyarakat terlindungi dari upaya doxing,” kata Damar.
(jnp/DAL)