Keluarga Ramon Damora usai menjalankan Shalat Idul Fitri, di kediamannya, Kota Batam Kepulauan Riau, Ahad (24/5/2020). (Dok Pribadi)
LENSAPANDAWA.COM – Jilan Egha Barry menarik nafas sedikit berat, sebelum melafalkan takbir, memimpin shalat bagi ayah, ibu, bibi dan adiknya Shalat Idul Fitri 1441 Hijriah.
"Allahuakbar," anak berusia 14 tahun itu menjadi Imam Shalat di Hari Raya kemenangan umat Islam, di kediamannya sendiri di Kota Batam Kepulauan Riau, Ahad.
Pandemi COVID-19 memaksa jutaan Muslim di dunia untuk tetap menjalankan ibadah #dirumahsaja. Termasuk di Kota Batam, yang menjadi zona merah COVID-19.
Masyarakat Muslim mendirikan shalat dalam kelompok-kelompok kecil keluarga, karena masjid tidak menggelar shalat berjamaah, demi memutus mata rantai penularan COVID-19.
Memang, Shalat Idul Fitri hukumnya sunat, tidak diharuskan.
Tapi, rasanya tidak berlebaran, kalau tidak menjalankannya. Maka, banyak keluarga Muslim bersiap menggelar Shalat Id berjamaah di kediaman masing-masing.
Bila sebelumnya mereka hanya menjadi makmum dan mengikuti arahan imam. Maka kini setiap kepala keluarga bertanggung jawab atas terlaksananya Shalat Id di rumahnya.
Begitu pun di kediaman sastrawan ternama, Ramon Damora di Kota Batam.
Sambil menahan senyum, adik Jilan, Jazzy Rayshad Nadim mengajak makmum mendirikan Shalat Id, dalam bahasa Arab. Nampaknya dia malu-malu menjalankan tugasnya sebagai bilal.
Jilan, sang imam muda pun berdiri. Membenarkan letak peci dan celana. Menengok ke belakang, memastikan shaf yang didirikan ayah, ibu, bibi dan adiknya rapat sesuai sunat.
"Allahuakbar…!" Shalat dimulai.
Setelah 7 kali takbir, Jilan membaca Al Fatihah dan Al A'laa dengan lancar, relatif tanpa cacat. Pada rakaat kedua, ia pun melafalkan surat Al Ghasyiyah, usai 5 kali takbir.
Bukan tanpa alasan memang, Jilan dipilih menjadi imam Shalat Id di keluarga kecil itu.
Jilan merupakan santri di sebuah pondok hafiz di Bogor Jawa Barat. Kini pun ia telah menghafalkan 9 dari 30 juz Al Quran.
"Dia sudah balig, sudah cukup syaratnya," kata Ramon Damora, sang ayah.
Bagi Ramon, untuk menjadi imam tidak perlu yang lebih tua. Meski anaknya baru menginjak remaja, tapi ia menilai sang bujang mampu, dengan bekal ilmu yang didapatnya di pesantren.
Maka ia pun mempersilahkan sang putra memimpin keluarganya. Tanpa sungkan, Ramon mengikuti arahan imam shalat.
"Ini sekaligus latihan menjadi pemimpin, melatih keberanian. Menjadi catatan di hidupnya kelak, ada Shalat Id rumah," kata dia.
Ramon pun mengambil bagian, menjadi khatib Shalat Id, sesuai dengan kesepakatan keluarga.
Ramon dan istri memutuskan untuk menyiarkan secara langsung pelaksanaan Shalat Id di kediamannya di media sosial.
"Ini pengalaman baru bagi keluarga kami. Luar biasa, semuanya sempat deg-degan, termasuk ibunya. Manalah tahu salah-salah. Berdebar-debar rasanya," kata dia.
Beberapa hari sebelum Lebaran, ia sengaja menyempatkan waktu mempelajari tata cara Shalat Id bersama keluarga. Mendengarkan ceramah sejumlah ustadz dan membaca semua referensi yang tersedia, baru kemudian memutuskan, bagaimana melaksanakan ibadah istimewa itu.
Keluarga Ramon pun sempat latihan untuk memantapkan pelaksanaan ibadah.
"Kita latihan, sambil cari tahu di Google. Selama ini sudah tahu juga, tapi terbatas. Selama ini melihat dari jauh bagaimana persiapannya, " kata dia yang pernah menjabat Ketua Umum Persatuan Wartawan Indonesia Provinsi Kepulauan Riau.
Lain dengan keluarga Ramon, Andi harus memimpin Shalat Idul Fitri seorang diri. Dia yang menjadi bilal, dia imam, dia juga yang khutbah.
Maklum, dua anaknya perempuan. Sedang si bungsu, baru berusia 2 tahun, tidak mungkin berbagi peran dalam menjalankan ibadah bersama.
Beberapa hari menjelang Lebaran, ia sibuk dengan gawai, mencari acuan tata cara melaksanakan Shalat Id yang baik. Ia pun berdiskusi dengan sejumlah ustadz, kenalannya.
"Siap, siaplah. Harus siap," katanya sambil mengangguk-angguk.
Maka Ahad pagi, setelah sajadah tergelar, Andi duduk bersila melafalkan takbir kemenangan, diikuti anggota keluarganya, dengan suara yang sayup-sayup. Tidak seperti suara takbir yang biasanya dikumandangkan di lapangan dan masjid pada Shalat Id di masa normal. Bergema bergemuruh.
Meski begitu, tidak menurunkan kekhidmatan ibadah di rumah keluarga muda itu, yang tetap syahdu penuh keharuan.
Ini adalah pengalaman pertama mendirikan Shalat Id sendiri yang akan tidak akan terlupakan. Bukan hanya bagi Ramon, Andi dan keluarganya, tentunya bagi banyak keluarga muslim lainnya.
Pandemi tidak hanya memberikan kesempitan yang membuat sedih dan muram. Tapi pandemi mengharuskan manusia untuk terus belajar dan bergerak, menyesuaikan diri.
Manusia tidak boleh kalah, lalu mati sunyi karena COVID-19. Sebaliknya, manusia bisa menjadikan pandemi sebagai bantu loncatan, menjadi manusia lebih baik.
Seperti pada keluarga Ramon dan Andi. Bila sebelumnya mereka hanya menjadi orang dalam baris belakang, menjadi makmum dalam Shalat Id, kini mereka menyelenggarakannya sendiri di rumah.
Mereka membekali diri dengan ilmu tata cara ibadah yang benar. Bahkan, mereka menjadi imam dan khatibnya.
Mungkin sudah saatnya kita berhenti mengutuk pandemi, melainkan berterima kasih pada musibah sejuta hikmah ini.
Terima kasih pandemi, kami menjadi manusia lebih baik. Dan, pandemi, kami akan mengalahkan mu!
Sampai jumpa Lebaran tahun depan, saat masjid dan lapangan ramai, dan pandemi hilang dari bumi.*
Demikian berita ini dikutip dari ANTARANEWS.COM untuk dapat kami sampaikan kepada pembaca sekalian.