Seorang anak penyintas bencana berdiri di depan di hunian sementara yang ditempatinya di Shelter Pombewe, Kabupaten Sigi, Sulawesi Tengah, Kamis (20/2/2020). Ratusan kepala keluarga korban bencana di shelter itu menunggu penyelesaian hunian tetap yang dijanjikan pemerintah agar dapat segera pindah dan menata kembali kehidupannya dengan normal seperti sebelumnya. ANTARA FOTO/Basri Marzuki/aww.
LENSAPANDAWA.COM – Direktur Pelaksana Yayasan Sikola Mombine, Risnawati meminta pemerintah pusat dan daerah terdampak bencan gempa, tsunami dan likuefaksi 2018 agar memprioritaskan hunian, utamanya hunian tetap (Huntap) yang kini tengah dibangun bagi kelompok rentan, utamanya perempuan dan anak.
Belajar dari dampak pembangunan hunian sementara (Huntara) bagi korban bencana yang tidak memperhatikan aspek tersebut, ia mengungkapkan banyak ditemukan kasus kekerasan dan pelecehan terhadap kaum perempuan.
"Akibat pembangunan hunian sangat tidak patut dan sanitasi yang tidak responsif. Kejadian di masa tanggap darurat pascabencana sampai hari ini kami mendampingi 43 kasus kekerasan terhadap perempuan dan KDRT (Kekerasan Dalam Rumah Tangga),"katanya di Palu, Rabu.
Bahkan mirisnya, pihaknya menemukan pelaku yang masih di bawah umur berusia antara 8 sampai 10 tahun.
"Itu fakta yang terjadi di lapangan. Proses rehabilitasi dan rekonstruksi (rehab rekon) yang tidak partisipatif dan tidak melihat bahwa perempuan dan kelompok rentan lainnya menjadi bagian dari pengambilan keputusan dalam proses rehab rekon,"ujarnya.
Karena itu dalam dialog yang dihadiri perwakilan Pemerintah Provinsi Sulawesi Tengah, Kota Palu dan Donggala, ia meminta agar Huntap yang dibangun 40 persen ditujukan kepada para kelompok rentan.
"Berada di tengah-tengah hunian kelompok yang kuat agar mereka merasa aman. Ini harapan kami yang menjadi rekomendasi untuk pemerintah provinsi, kabupaten dan kota,"ucapnya.
.
Demikian berita ini dikutip dari ANTARANEWS.COM untuk dapat kami sampaikan kepada pembaca sekalian.