Ilustrasi. Peneliti China beberkan studi soal 30 mutasi virus corona (Dok. CNN.com)
LENSAPANDAWA.COM – Peneliti asal China, Li Lanjuan bersama rekan peneliti lain dari Universitas Zhejiang menemukan virus corona SARS-Cov-2 penyebab penyakit Covid-19 bisa bermutasi hingga 30 varian.
Sebanyak 19 dari 30 varian mutasi ini adalah jenis baru. Dengan kata lain, 60 persen hasil temuan mutasi adalah hasil mutasi baru. Beberapa perubahan itu sangat jarang ditemukan, sehingga para peneliti tidak mempertimbangkan mutasi tersebut ada.
Berdasarkan bukti laboratorium, penelitian Li juga menemukan kalau mutasi tertentu dari virus SARS-Cov-2 dapat menciptakan jenis virus yang lebih mematikan dibanding jenis lain.
“SARS-Cov-2 telah memperoleh mutasi yang mampu secara substansial mengubah patogenisititasnya (kemampuan organisme untuk menimbulkan penyakit),” kata Li.
Kecepatan mutasi virus corona ini sekitar satu mutasi per bulan. Hingga Senin (20/4) diperkirakan sudah ada 10ribu strain yang disekuensikan oleh para peneliti diseluruh dunia. Sehingga tercatat sudah ada 4.300 mutasi berdasarkan Pusat Bioinformasi Nasional China.
Lebih lanjut, ia menilai strain yang berbeda kemungkinan bisa memberi dampak penyakit Covid-19 yang berbeda di dunia. Menurut Li, saat ini kemampuan mutasi virus ini masih dianggap remeh oleh para peneliti dunia.
Kesimpulan Li dan tim dilakukan setelah melakukan serangkaian studi terkait mutasi virus corona SARS-CoV-2 pada sekelompok kecil pasien yang sebelumnya tidak pernah dilaporkan.
Li menggunakan metode ultra-deep sequencing yang disebut sangat canggih. Tiap genom dibaca lebih dari 100 kali. Sehingga memungkinkan peneliti melihat perubahan yang kemungkinan terlewat dari pendekatan konvensional.
Menurut Professor Zhang Xuegong, kepala divisi bioinformatika dari Universitas Tsinghua, teknik ini bisa sangat efektif untuk melacak mutasi virus. Meski ia menyebut pendekatan tersebut sangat mahal dan makan waktu.
Temuan Li dan tim ini dipublikasi medrxiv.org berjudul, “Patient-derived mutations impact pathogenicity of SARS-Cov-2”. Kendati demikian, studi ini belum dievaluasi oleh peneliti lain.
Menurut jurnal ilmiah yang ditulis Li dan peneliti lain, mereka menganalisa strain virus yang diisolasi dari 11 pasien Covid-19 yang dipilih secara acak dari Kota Hangzhou. Kota ini dipilih karena ada 1.264 pasien positif Covid-19.
Sampel yang diambil pada pengujian ini tergolong sedikit. Studi lain terkait mutasi virus biasanya melibatkan ratusan hingga ribuan sampel virus.
Kemudian mereka menguji coba seberapa efisien strain virus tersebut dapat menginfeksi dan membunuh sel. Hasilnya, mutasi yang dianggap mematikan pada pasien itu juga telah ditemukan pada sebagian besar pasien yang tinggal di Benua Eropa.
Sementara varian mutasi virus corona yang punya infeksi lebih ringan merupakan varietas dominan yang ditemukan di Washington, di Amerika Serikat, seperti dilansir South China Morning Post.
Sementara berdasarkan studi terpisah, disebutkan kalau varian virus yang ada di New York mirip dengan virus yang ada di banyak negara Eropa. Sehingga, diperkirakan virus di kota itu diimpor dari Eropa.
Li pun memberikan penegasan bahwa mutasi yang membuat virus corona lebih lemah itu tidak berarti risiko infeksi jadi tidak lebih mematikan bagi semua orang.
Sebab, berdasarkan penelitian mereka, dua pasien berusia 30-an dan 50-an tahun yang terjangkit virus yang tak terlalu ganas, tetap menderita sesak napas. Keduanya selamat, tapi pasien yang lebih tua membutuhkan perawatan di ruang perawatan intensif (intensive care unit/ ICU).
“Studi ini menghasilkan gambaran yang tidak terduga yang ditunjukkan oleh segelintir pasien yang kami uji, bahwa ada perbedaan dari strain virus yang sebagian besar masih diremehkan,” tutur Li.
Mutasi virus yang lebih ganas pun disebut bisa membunuh sel yang diinfeksi lebih cepat. Sebab, ia memperbanyak diri 270 kali lebih banyak dari mutasi virus yang lebih lemah.
Hasil penelitian ini diyakini dapat membantu para peneliti lebih memahami bagaimana sebuah strain bervariasi berdasarkan wilayah geografisnya.
Dengan demikian, Li berharap studi ini bisa membantu menentukan pengembangan vaksin atas virus ini dan varian mutasinya serta cara terbaik untuk memerangi virus SARS-Cov-2 seperti dilansir Sputnik News.
“Pengembangan obat-obatan dan vaksin meskipun terkesan mendesak perlu memperhitungkan dampak akumulasi mutasi ini,” pungkas Li.
Berdasarkan laporan kantor berita setempat, Li adalah ilmuwan pertama yang mengusulkan untuk melakukan penutupan aktivitas (lockdown) di Wuhan. Pemerintah langsung mengikuti saran itu dan langsung melakukan penutupan dalam semalam. Sehingga, beberapa warga terpaksa terpisah dari keluarganya selama penutupan berlangsung karena mereka tak bisa kembali ke rumah saat ada di luar kota.
Sebelumnya, Peneliti dari Inggris dan Jerman telah mengidentifikasi tiga jenis mutasi virus corona SARS-CoV-2 penyebab sakit Covid-19 yang tersebar di seluruh dunia. Tiga mutasi virus corona ini ini diberi label A, B, dan C.
Varian A adalah varian asli yang pertama menginfeksi manusia seperti di Wuhan. Tapi, yang mengejutkan, varian ini bukanlah jenis virus yang menginfeksi sebagian besar warga di kota itu.
Analisis mereka menunjukkan bahwa versi mutasi A terlihat di Amerika yang sebelumnya telah tinggal di Wuhan. Selain itu, sejumlah besar virus tipe A ditemukan pada pasien dari Amerika Serikat dan Australia.
Jenis virus utama Wuhan adalah keturunan varian B, dan virus ini dominan menjangkiti pasien dari seluruh Asia Timur. Namun, varian itu tidak menyebar ke luar wilayah lain tanpa mutasi lebih lanjut.
Varian C diidentifikasi sebagai tipe Eropa utama, dan ditemukan pada pasien awal dari Prancis, Italia, Swedia, dan Inggris. Varian ini tidak ditemukan dari sampel daratan Cina studi, tetapi ditemukan di Singapura, Hong Kong, dan Korea Selatan. (din/eks)