Pengamat Ingatkan Peran Medsos di Era New Normal

0
162
Pengamat Ingatkan Peran Medsos di Era New NormalPengamat ingatkan era new normal dan bijak bermedia sosial (CNN Indonesia/Bisma Septalisma)

LENSAPANDAWA.COM – Pengamat budaya dan komunikasi digital dari Universitas Indonesia, Firman Kurniawan menyebut dalam konteks membangun rasionalitas kampanye  new normal tentu tak dilarang menggunakan buzzer, influencer dan endorser sebagai penengah.

Ia menjelaskan berbagai penelitian pada komunikasi yang tak dibatasi medium digital menunjukkan tercapainya tujuan komunikasi manakala ada penengah.

“Pada komunikasi bermedium digital pun diharapkan hasil yang sama. Terlebih adanya buzzer, influencer dan endorser berlatar belakang sesuai dengan sasaran komunikasi,” kata Firman.

Menurutnya, mereka menjadi penengah untuk menyempitkan jarak pengetahuan pemerintah dengan masyarakat. Dalam praktik komunikasi, hal ini sesuai dengan model The Two Step Flow of Communication.

“Jarak itu muncul akibat perbedaan pengetahuan, pengalaman, tata cara dialog maupun istilah yang biasa digunakan. Perlu penengah untuk menjembatani jarak ini. Di era komunikasi digital, lahir penengah yang lazim disebut buzzer, influencer maupun endorser. Cara kerja ketiganya beda, namun berfungsi mendamaikan jarak,” kata Firman.

Lebih lanjut, menurutnya kampanye normal baru bukan hanya soal pemasangan tanda jaga jarak, gencar imbauan memakai masker, maupun pengawasan penegakkan protokol kesehatan saja.

Namun, normal baru harus membangun rasionalitas para pihak : pemerintah, institusi penyelenggara kesehatan, media, pelaku ekonomi hingga semua warga negara, dari hulu ke hilir. Firman menjelaskan hulu adalah rasionalitas hidup normal dengan virus yang masih menjadi pandemi.

“Pengaturan jumlah jemaah di rumah ibadah, kuota penumpang transportasi umum, jumlah pembelanja di mal adalah hilir. Pengaturan hilir tak terlalu berguna, manakala hulunya tak direncanakan saksama,” ujar Firman saat dihubungi CNNIndonesia.com, Kami (11/6).

Kesimpulan ia ambil berdasarkan kasus di lapangan terkait minimnya penerapan protokol kesehatan oleh masyarakat di masa transisi Pembatasan Sektor Berskala Besar.

Rasionalitas perlu memperhitungkan aktivitas yang menimbulkan penumpukan manusia, sebagai sumber penularan Covid-19. Para penegak protokol akan terjebak dan mengalami kelelahan luar biasa, saat harus mengawasi kapasitas hilir. Sementara aktivitas, sumber penumpukan manusia, tak dihitung.

“Ketika perkantoran mengaktifkan kembali kegiatannya, sementara di masa pra Covid-19 pun, jumlah fasilitas umum tak memadai. Apalagi ketika kapasitas dibatasi 50 persennya demi jarak,” kata Firman.

Selain itu, unsur negara seperti pemerintah, legislatif, yudikatif, maupun TNI-Polri, akademisi, media maupun komunitas yang paham mencegah Covid-19 mutlak terlibat. Sebab, pihak yang berbeda ini punya pendukung, basis massa yang unik, dengan cara komunikasi masing-masing.

Di sisi lain, Kemenkominfo harus aktif membentuk komunitas yang bisa melakukan kampanye kepada berbagai macam sasaran komunikasi.

Pada social comparison theory yang digagas Leon Festinger (1954) disebut tentang kecenderungan individu yang selalu mengevaluasi pendapat dan kemampuan mereka sendiri, dengan orang lain. Evaluasi ini bertujuan untuk mengurangi ketidakpastian.

“Maka, dengan adanya berbagai pihak yang berbeda latar belakang namun menyuarakan pesan yang senada, terkait pencegahan Covid-19, tentu akan menghilangkan keraguan pihak pihak yang menjadi sasaran komunikasi,” kata Firman.

Selanjutnya, Firman mengatakan momentum Hari Media Sosial Nasional harus dimanfaatkan sebagai pemberdayaan keunggulan media sosial beserta pelakunya, membangun rasionalitas baru.

“Agar semua upaya tak hanya berujung ketegangan di hilir, antara penegak protokol kesehatan dengan masyarakat yang merasa dibelenggu kebebasannya,” tutur Firman. (eks/eks)

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here