Ilustrasi – Sakti Peksos Kementerian Sosial mendampingi Andini (hijab hijau) remaja 14 tahun asal Dusun Telayap, Desa Pangkalan Tampoi, Kabupaten Pelalawan, Riau yang merawat kedua adiknya saat pemeriksaan kesehatan di RSUD Selasih di Pangkalan Kerinci. (ANTARA/Dok.Kemensos)
LENSAPANDAWA.COM – Sudah lebih dua bulan sejak diumumkannya kasus pertama positif COVID-19 di Tanah Air tepatnya 2 Maret 2020, hingga kini pandemi masih terus merebak.
Data terakhir yang dilaporkan Gugus Tugas Percepatan Penanganan COVID-19 pada Minggu (4/5) tercatat 11.192 kasus positif dengan 1.876 pasien sembuh dan 845 orang meninggal dunia.
Dampak yang dirasakan akibat sebaran virus SARS-CoV-2 itu juga begitu masif, mulai dari ekonomi, sosial bahkan hingga kehidupan sehari-hari, dimana orang-orang harus tetap berada di rumah agar terhindar dari penularan.
Namun tidak semua orang bisa beraktivitas sepenuhnya di rumah atau yang tren disebut work from home (WFH), karena ada yang harus bekerja langsung dan menjadi garda depan dalam penanganan COVID-19 seperti tenaga kesehatan.
Begitu pula dengan para Satuan Bakti Pekerja Sosial atau biasa disebut Sakti Peksos yang menangani masalah sosial terkait anak seperti anak terlantar, anak yang berhadapan dengan hukum dan lainnya, mereka tetap harus memberikan pendampingan di tengah situasi yang mengancam kesehatan saat ini.
Seperti Muhammad Fariz, Sakti Peksos yang bertugas dengan area kerja Kabupaten Serang Provinsi Banten. Ia tetap harus keluar rumah untuk mendampingi anak yang sedang menghadapi masalah hukum atau juga kasus anak lainnya.
Ia mengaku sebagai Peksos tidak bisa bekerja seperti profesi lain yang cukup melakukan rapat virtual secara daring dari rumah, apalagi yang berkaitan dengan pendampingan proses hukum.
Untuk proses hukum saja, di tiap tahapan dari mulai BAP hingga sidang di pengadilan, keluarga si anak sangat membutuhkan kehadiran Peksos untuk mendampingi, ujar bapak satu anak itu.
"Susahnya, kalau cuma ada satu Peksos di daerah, seperti saya, cuma saya seorang yang menangani semua masalah terkait anak di Kabupaten Serang," kata Fariz.
Namun Peksos akan sangat terbantu jika mempunyai jaringan yang kuat ditingkat desa dan kecamatan sehingga kunjungan ke rumah (homevisit) bisa dilakukan melalui panggilan video dibantu pihak desa setempat.
"Tapi kalau harus menjangkau, mau tidak mau saya harus homevisit di tengah pandemi seperti ini," kata dia.
Dalam Permensos No.26 Tahun 2019 tentang Program Rehabilitasi Sosial, Peksos bertugas melakukan pendampingan sosial.
Kegiatan yang dilakukan dalam pendampingan sosial tersebut yaitu pencegahan yang harus sosialisasi ke sekolah maupun masyarakat.
Kegiatan lain yaitu merespon kasus berupa layanan khusus yang dilakukan secara langsung, segera dan dalam jangka waktu singkat untuk membantu anak dan atau keluarga yang mengalami masalah.
Serta kegiatan manajemen kasus yaitu proses penanganan permasalahan anak sesuai dengan kebutuhan. Kegiatan-kegiatan ini yang sulit jika tidak dilakukan secara langsung.
Begitu pula dengan Dewi, Supervisor Sakti Peksos di wilayah DKI Jakarta. Pekerjaannya memberikan pendampingan tetap harus berjalan meski Ibukota telah menerapkan Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB).
Sebagai episentrum COVID-19, Jakarta memiliki kasus positif terbanyak dari 34 provinsi yang terpapar, tercatat pada Minggu (4/5) 4.463 kasus dengan angka kematian 398 orang, namun juga memiliki pasien sembuh terbanyak yaitu 632 orang.
Menjadi Peksos mengharuskan Dewi lebih sering di lapangan dan berinteraksi dengan orang banyak. Pandemi juga menyebabkan ia tidak bisa maksimal dalam merespon dan menjangkau kasus.
Kekhawatiran
Karena masih harus ke lapangan memberikan pendampingan, terbersit kekhawatiran dan was-was tertular COVID-19.
"Pandemi ini juga membuat kami di lapangan merasa ada tekanan psikologis. Ada perasaan ragu-ragu dan merasa khawatir bertemu orang, takut tertular," jelas Dewi.
Selama berinteraksi dengan banyak orang, mereka membekali diri dengan masker, sarung tangan dan cairan pencuci tangan meski kadang harus mengeluarkan uang pribadi untuk membeli alat-alat pelindung diri tersebut.
Belum lagi kekhawatiran akan membawa pulang virus ke rumah yang dapat menular ke keluarga.
"Istri yang paling khawatir. Jadi setiap sampai di rumah langsung mandi. Jadi pemberi rasa aman itu kadang tidak aman, ujar Fariz.
Hal serupa juga dilakukan Dewi, selalu langsung mandi setiap pulang penjangkauan, selain itu ia juga memberikan pengetahuan tentang bahaya COVID-19 dan meminta anak-anaknya untuk tetap di rumah, menjaga kebersihan, sering mencuci tangan dan mengonsumsi makanan sehat untuk menjaga daya tahan tubuh mereka.
Di kala harus melakukan koordinasi dan rapat, meski tidak harus ke luar rumah karena bisa dilakukan melalui daring, namun kenyataannya juga kurang maksimal.
Mulai dari jaringan yang terputus-putus bahkan mesti menyiapkan anggaran lebih besar untuk kuota internet, sampai kendala transportasi umum yang saat ini terbatas.
Hal ini tentunya menghambat untuk menuju lokasi kerja dan lokasi respon kasus.
Tantangan
"Banyak tantangan yang dihadapi, baik karena harus bekerja dari rumah maupun yang terpaksa di luar rumah untuk merespon kasus dan rujukan," kata Direktur Jenderal Rehabilitasi Sosial Kementerian Sosial Harry Hikmat.
Biasanya Peksos melakukan supervisi secara tatap muka untuk membahas kasus dan permasalahan anak, namun karena adanya kebijakan bekerja dari rumah maka terpaksa dilakukan lewat video konferensi.
Terkadang keterbatasan kuota data dan jaringan internet yang tidak stabil sehingga supervisi kurang efektif dilakukan. Di samping itu, Peksos juga harus mengeluarkan anggaran sendiri untuk membeli kuota.
Kendala lain yang dihadapi, sulitnya berkoordinasi ke dinas terkait karena alasan COVID-19, banyak yang tidak masuk kerja ke kantor.
Terkait laporan sosial (lapsos), penyidik tidak mau jika hasil asesmen hanya melalui video konferensi atau telepon tapi harus bertemu langsung dengan klien.
"Tidak semua pekerjaan sosial bisa dilakukan menggunakan sistem bekerja dari rumah, misalkan ada kasus sangat penting tidak bisa dilakukan dari rumah misalnya pendamping BAP di kepolisian yang wajib untuk datang, ada kekhawatiran tertular COVID-19," ujar Harry.
Hambatan lain yang dihadapi, adalah lambatnya melaksanakan respon kasus karena tidak dapat melakukan home visit dan hanya bisa lewat video konferensi.
Selain itu juga sulit memetakan siapa saja yang terkena pandemi corona dan mendapatkan data pasti untuk pendampingan psikososialnya, termasuk pengasuhan anak yang orang tuanya Pasien Dalam Pengawasan (PDP).
Walaupun sudah dilakukan sosialisasi oleh pemerintah pusat dan daerah, kenyataan di lapangan dalam penanganan kasus Anak Berhadapan dengan Hukum (ABH), anak tidak diberlakukan pembatasan fisik.
Tantangan lainnya, Peksos tidak dapat melakukan respon kasus karena jarak yang jauh dan harus menggunakan transportasi umum yang berisiko terpapar COVID-19.
Respon kasus yang jauh sulit dilaksanakan karena banyak akses jalan yang ditutup, dibatasi dan dilaksanakan karantina wilayah, selain itu juga karena dibatasinya moda transportasi umum darat dan laut.
Selama pandemi, respon kasus yang meningkat telah mengharuskan Peksos lebih jeli memilah jenis kedaruratan kasus yang harus didampingi secara langsung.
Meski di tengah pandemi, respon kasus masih berjalan karena ada rujukan untuk mengakses anak-anak korban namun ada kekhawatiran orang tua korban Peksos membawa wabah COVID-19.
Namun, tak semua kendala dan tantangan itu menjadi beban buat mereka. Dewi, Fariz dan Peksos lainnya tetap bersemangat memberikan pendampingan pada anak-anak generasi masa depan bangsa.
Sebagai Peksos, Dewi bersyukur meski dalam keterbatasan masih bisa membantu sesama yang membutuhkan.
"Hidup adalah bukan seberapa besar materi yang kami terima dari bekerja sebagai Peksos, namun seberapa bermanfaat kami bagi orang lain itu adalah sebuah kebanggaan dan kemuliaan bagi kami Peksos di lapangan," ujar Dewi.
Demikian berita ini dikutip dari ANTARANEWS.COM untuk dapat kami sampaikan kepada pembaca sekalian.