Perlu Pemanfaatan Teknologi Berbasis IoT dan Artificial Intelligence

0
233
Jakarta – (Lensapandawa.com)
Perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi terus melaju tiada henti. Tidak mengenal kompromi untuk berhenti, memberi ruang inovasi yang luas bagi mereka yang kreatif, sekaligus menggilas mereka yang tidak mampu beradaptasi. Di satu sisi banyak memberi kemudahan pada sebagian umat manusia, tapi di sisi lain menjadi tantangan dan sekaligus permasalahan baru bagi sebagian orang. Permasalahan kemudian ruang inovasi yang terbuka luas tersebut, menjadi tantangan baru khususnya bagi dunia hukum yaitu ketersediaan aturan hukum yang memayungi aturan mana yang boleh dan mana yang tidak. Jika lembaran kertas hukum itu belum tersedia, berdampak pada luasnya ruang abu – abu atas setiap tindakan umat manusia. Di sinilah kualitas kecermatan dan ketajaman dalam melakukan analisis hukum akan menentukan kualitas keadilan itu sendiri. Dengan demikian, maka kualitas dalam pemenuhan kompetensi setiap aparat penegak hukum menjadi sangat penting sekali. Termasuk petugas kepolisian sebagai garda depan dalam penegakan hukum.
Tantangan kepolisian ke depan tidaklah semakin ringan, justeru sebaliknya akan semakin berat karena ruang dan dimensi permasalahan akan semakin komplek, dinamik dan multivariat. Perubahan – perubahan yang terjadi akibat akselerasi teknologi yang super cepat, berimplikasi logis para pada perubahan strategis maupun perubahan teknis. Kemampuan lembaga pendidikan Polri untuk melakukan penyerapan dan adaptibilitas kurikulum menjadi sangat penting dalam rangka mengimbangi dinamika tantangan itu sendiri. Baik tantangan kamtibmas, tantangan linyomyanmas dan tantangan penegakan hukum membutuhkan penanganan yang artistik, yaitu sesuai dengan aturan yang membutuhkan kompetensi dan integritas dalam satu paket keteladanan. Di sinilah Polri perlu membuka ruang saran dan masukan yang luas dari seluruh lapisan masyarakat yang memiliki atensi dan kompetensi serta semangat untuk melakukan perbaikan berkelanjutan. Tidak ada ikhtiar yang hanya dengan satu kali melangkah lalu permasalahan selesai semua, melainkan sebuah itikad yang terencana dalam menyusun langkah demi langkah untuk melakukan perbaikan dalam mengimbangi berbagai dinamika persoalan.
Saat ini dimana umat manusia hidup di era Revolusi Industri 4.0 yang berawal dari konsep Industri era digital / era teknologi informasi dan komunikasi di Jerman dengan 6 pilar utama yaitu masyarakat digital, energi berkelanjutan, mobilitas cerdas, hidup sehat, keamanan sipil, dan teknologi di tempat kerja. Begitupun di Indonesia, berbagai elemen individu dan institusional terus beradaptasi dengan digitalisasi yang sudah merevolusi seluruh aspek kehidupan. Oleh karena itu, sudah selayaknya para ahli IT di berbagai lembaga pemerintahan ataupun swasta terus melakukan pemanfaatan teknologi informatika tersebut sesuai dengan tupoksi yang diembannya. Terlebih konsep Revolusi Industri 4.0 yang menggunakan kecerdasan buatan (artificial intelligence) dalam penerapannya, juga diikuti dengan kelahiran Society 5.0.
Istilah Society 5.0 dirumuskan oleh Perdana Menteri Jepang Shinzo Abe pada bulan Maret 2017 di pameran CeBIT, Hannover – Jerman untuk menangani salah satu permasalahan yang terjadi di Jepang, dimana pada saat itu Jepang sedang mengalami sebuah tantangan berkurangnya populasi yang membuat warga usia produktif berkurang. Untuk itu Jepang berusaha memperbaiki kondisi tersebut dengan menerapkan Society 5.0 yang diharapkan dapat menciptakan nilai baru melalui perkembangan teknologi canggih untuk mengurangi adanya kesenjangan antara manusia dengan masalah ekonomi ke depannya. Pada dasarnya, society 5.0 ini dibuat untuk melayani kebutuhan manusia, agar masyarakat bisa menikmati hidup dan merasa nyaman. Sinergi manusia dan teknologi bisa terwujud agar masyarakat semakin sejahtera.
Jadi dari perspektif tata nilai, tujuan masyarakat 5.0 atau super smart society (society 5.0) dinilai sebagai solusi dan tanggapan dari revolusi industri 4.0. Tiga kemampuan utama dalam menghadapi society 5.0. di antaranya yaitu kemampuan memecahkan masalah kompleks dan dapat menjadi problem solver bagi dirinya serta orang banyak. Kemampuan untuk berpikir secara kritis, bukan hanya sekadar dalam kelas namun juga dalam kehidupan kemasyarakatan dan lingkungan sekitar agar timbul kepekaan social, serta kemampuan untuk berkreativitas. Society 5.0 dapat dikatakan integrasi ruang maya dengan ruang fisik, sehingga semua hal menjadi mudah dengan dilengkapi artificial intelegent.
Merujuk pada dinamika sosial kemasyarakatan dalam menghadapi berbagai tantangan perubahan terutama dengan kelahiran societ 5.0 ini, maka seluruh elemen bangsa perlu memiliki kesiapan dan kemampuan berpikir Higher Order Thinking Skills (HOTS) untuk menjawab tantangan global era society 5.0.  Hal tersebut untuk meminimalisir kesenjangan pola pikir dan orientasi teknologi, sehingga dapat terintegrasinya antara manusia dan teknologi. Dengan demikian maka seluruh elemen individu dan institusional akan semakin memanfaatkan teknologi yang berbasis IoT dan Artificial Intelligence (AI) agar mampu membuat produk barang atau jasa yang semakin efektif dan efisian. Begitupun dengan orientasi tindakan pemolisian ke depan akan sangat memanfaatkan teknologi untuk meningkatkan pelayanan pada masyarakat, termasuk transparansi dan orientasi keadilan akan semakin meningkat.
Dalam konteks ini, sosok seperti Bjp. Yehu Wangsajaya sangat tepat jika ditempatkan sebagai Kadiv TIK Polri, karena beliau memiliki kompetensi yang mumpuni di bidang penerapan IT untuk membantu kelancaran tugas – tugas kepolisian. Secara akademik beliau memiliki gelar Magister Ilmu Komputer, dan secara empirik beliau selalu memanfaatkan teknologi IT ini dimanapun mengemban amanah penempatan. Jadi orientasi dalam menjawab dinamika tantangan tugas ke depan, maka penempatan orang yang kompeten dan tepat di bidangnya akan menjadi kata kunci.  (FPRN)

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here