Ilustrasi air laut. (TED ALJIBE / AFP).
LENSAPANDAWA.COM – Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) merespons sejumlah ABK asal Indonesia yang mengkonsumsi air laut hasil filtrasi (penyaringan) saat bekerja di Kapal Tuna milik China.
Menurut Peneliti Bidang Kimia LIPI Joddy Arya Laksmono seiring berkembangnya teknologi, air laut memang sudah banyak dimanfaatkan untuk memenuhi kebutuhan air tawar atau minum khususnya di daerah Timur Tengah ataupun di kapal laut.
Salah satu teknologi yang banyak dimanfaatkan ialah Reverse Osmosis (RO). “Dengan ketersediannya sebesar 70 persen di Bumi, maka air laut menjadi sumber bahan baku yang sangat potensial untuk dapat diolah menjadi air layak pakai,” kata Joddy kepada CNNIndonesia.com, Sabtu (9/5).
“Beberapa teknologi telah dikembangkan untuk memperoleh air layak pakai bahkan standar air minum seperti desalinasi, Reverse Osmosis (RO), elektrodialisis dan lain sebagainya. Saat ini, teknologi yang banyak digunakan adalah RO walaupun masih memiliki kelemahan mengenai jumlah air bersih yang dihasilkan konversinya masih kecil,” lanjutnya.
Kendati demikian, teknologi untuk mengubah air laut menjadi air tawar bersih mesti memenuhi kriteria-kriteria yang telah ditentukan. Di Indonesia sendiri, kriteria air bersih dan air minum telah ditetapkan pada Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor 492/Menkes/Per/IV/2010 tentang Persyaratan Kualitas Air Minum.
Selain itu ada juga Standar Nasional Indonesia (SNI) 3553:2015 dan peraturan standar internasional yang dikeluarkan oleh Food and Drug Administration (FDA) Amerika Serikat terkait bahan makanan termasuk di dalamnya minuman yang layak dikonsumsi oleh manusia.
“Ketiga peraturan tersebut menjadi acuan bagi seluruh manusia termasuk tenaga kerja yang mana sesuai dengan UU Ketenagakerjaan No. 13 Tahun 2013 terutama pasal 86 dan 87, yang menyebutkan bahwa setiap tenaga kerja memiliki hak untuk mendapatkan kesehatan dan keselamatan kerja,” tutur Joddy.
Adapun aspek-aspek yang mesti diperhatikan berkaca pada kasus yang menimpa ABK Indonesia ialah terkait aspek teknis maupun legal.
Menurut Joddy, aspek teknis tentunya perlu dilakukan evaluasi dan monitoring dengan cara terjun langsung ke lapangan untuk melihat standar kesehatan dan keselamatan ABK khususnya dalam hal akses terhadap air bersih dan air layak minum.
“Yang kedua adalah perlu dilakukannya crosscheck di lapangan apakah terjadi pelanggaran terhadap sistem ketenagakerjaan pada kapal tersebut, tentunya sesuai dengan pedoman UU Ketenagakerjaan dan konvensi ILO (International Labor Organization),” jelasnya.
“Kedua hal tersebut menjadi sangat penting untuk mengetahui kondisi riil para ABK Indonesia yang bekerja pada kapal tersebut. Di sini lah negara perlu hadir untuk melindungi warga negara dan bangsanya sendiri,” pungkas Joddy.
Sebelumnya, laporan terkait belasan WNI yang diperlakukan tidak manusiawi itu pertama kali diungkap oleh stasiun televisi Korea Selatan, MBC pada 6 Mei lalu.
Selain mengkonsumsi air laut yang telah melalui proses penyaringan, WNI ABK mesti bekerja hingga 18 sampai 30 jam, dengan istirahat yang minim.
Bahkan menurut pengakuan dua ABK WNI yang dirahasiakan identitasnya, seorang rekan mereka yang bernama Ari (24), meninggal karena sakit saat kapal tengah berlayar. Jasadnya dibuang begitu saja di tengah laut dengan upacara seadanya.
Demikian berita ini dikutip dari CNNINDONESIA.COM untuk dapat kami sampaikan kepada pembaca sekalian.