Ilustrasi polusi udara. (AFP PHOTO / SHAMMI MEHRA)
LENSAPANDAWA.COM – CEO aplikasi pemantau kualitas udara, IQAir Frank Hammes mengungkapkan adanya sebuah penelitian yang memastikan bahwa polusi udara jauh lebih mematikan dibanding wabah virus corona yang berasal dari China.
Frank kemudian mengungkapkan temuan bahwa 90 persen populasi global saat ini menghirup udara yang tidak aman.
“Korban jiwa akibat polusi udara dunia lebih besar dibanding virus corona,” kata Hammes lewat keterangan tertulis, Selasa (25/2).
Data terbaru yang dikumpulkan oleh IQAir mengungkap peringkat kota-kota di dunia yang paling tercemar, serta membeberkan perubahan konsentrasi partikulat PM 2.5 di seluruh dunia sepanjang 2019.
Dalam laporan global itu, IQAir menyoroti bahwa tingkat polusi udara yang meningkat sepanjang tahun 2019 sebagai akibat dari perubahan iklim seperti badai pasir, kebakaran hutan, dan polusi akibat urbanisasi kota yang sangat cepat seperti yang terjadi di wilayah Asia Tenggara.
Meski telah ada beberapa inovasi infrastruktur dalam pemantauan kualitas udara secara global, namun di sisi lain masih ada jurang yang besar dalam akses tentang data polusi udara di seluruh dunia.
“Sementara coronavirus baru sekarang mendominasi berita utama internasional, polusi udara telah menjadi pembunuh dalam senyap yang menyebabkan hampir 7 juta kematian per-tahunnya,” ujar Hammes.
Adapun temuan utama dari 2019 World Air Quality Report di antaranya:
Asia Tenggara
Dalam pergeseran industrialisasi bersejarah yang sedang terjadi di kawasan ini, kota-kota besar yang menjadi hub seperti Jakarta dan Hanoi malah mengambil alih posisi Beijing sebagai kota terpolusi di dunia.
Untuk pertama kalinya, dua kota tersebut bergantian berada di peringkat atas ibu kota dengan polusi PM 2.5 tertinggi di dunia pada tahun 2019.
China
Kota-kota di China mengalami penurunan rata-rata hingga 9 persen untuk tingkat PM 2.5 pada 2019. Sebelumnya penurunan sebesar 12 persen juga terjadi pada 2018. Namun, 98 persen kota di China telah melampaui standar WHO dan 53 persen kota di sana melebihi standar kualitas udara nasional mereka yang tidak terlalu ketat.
Dalam dekade terakhir, konsentrasi PM 2.5 di Beijing beberapa kali melonjak lebih dari setengah standar kualitas udara mereka. Namun, tahun ini, Beijing keluar dari peringkat atas 200 kota paling tercemar di dunia.
Korea Selatan
Korea Selatan adalah negara yang paling tercemar PM2.5 di antara negara-negara yang bergabung dalam Organisasi Kerja Sama dan Pembangunan Ekonomi (OECD) sepanjang tahun 2019. Tingkat kualitas udara di kota-kota besar di Korsel relatif stagnan selama beberapa tahun terakhir.
[Gambas:Video CNN]
India
Sementara rata-rata kota-kota di India melampaui aturan WHO untuk PM2.5 tahunan yakni hingga 500 persen, polusi udara nasional mereka menurun 20 persen dari 2018 ke 2019, dengan 98 persen kota mengalami peningkatan. Perbaikan ini diyakini sebagian besar disebabkan dari perlambatan ekonomi.
Asia Selatan
Kota-kota India dan Pakistan kembali mendominasi dunia sebagai kota yang paling tercemar untuk PM2.5 sepanjang 2019. Sebanyak 21 kota di India masuk ke dalam 30 besar kota yang paling berpolusi. Sedangkan lima kota di Pakistan juga termasuk di daftar 30 kota tersebut.
Kebakaran Hutan
Kebakaran hutan dan praktik pembakaran lahan terbuka memiliki dampak besar pada kualitas udara kota-kota dan negara-negara di seluruh dunia, termasuk di antaranya Singapura, Australia, Indonesia, Brasil, Kuala Lumpur, Bangkok, Chiang Mai, dan Los Angeles.
Badai Pasir
Penggurunan dan badai pasir mempunyai peran besar dalam kualitas udara yang buruk di Timur Tengah dan wilayah China barat.
Populasi yang Terus Bertambah
Meningkatnya jumlah warga dunia dan LSM membuat terjadinya penyebaran sensor kualitas udara yang murah untuk mengisi kesenjangan data di kawasan tersebut.
Upaya itu berdampak positif karena data kualitas udara publik kini tersedia untuk pertama kalinya di Angola, Bahama, Kamboja, Kongo, Mesir, Ghana, Latvia, Nigeria dan Suriah.
Menurut Frank, data kualitas udara 2019 tersebut menunjukkan indikasi yang jelas bahwa perubahan iklim dapat secara langsung meningkatkan risiko paparan polusi udara, melalui peningkatan frekuensi dan intensitas kebakaran hutan dan badai pasir.
Demikian pula yang terjadi di banyak wilayah ketika peningkatan polutan PM 2.5 dan gas rumah kaca yang terkait dengan perubahan iklim beberapa di antaranya disebabkan oleh pembakaran bahan bakar fosil, seperti batubara.
Hammes menyebut diperlukan aksi yang cepat untuk mengatasi sumber-sumber emisi ini, serta untuk melindungi kesehatan masyarakat dan ekosistem.
“Sementara pemantauan kualitas udara meningkat, kurangnya data kualitas udara di sebagian besar dunia menimbulkan masalah serius. Karena apa yang tidak diukur tidak dapat dikelola,” ujar Hammes.
Hammes menambahkan, daerah-daerah yang kekurangan informasi kualitas udara diperkirakan menjadi daerah dengan polusi udara paling parah di dunia, yang artinya dapat menempatkan populasi besar di satu wilayah dalam keadaan berbahaya.
Afrika, benua dengan 1,3 miliar orang misalnya, saat ini hanya memiliki kurang dari 100 stasiun pemantauan yang membuat data PM 2.5 bisa diakses publik dalam waktu nyata.
Particular Matter (PM) 2.5 sendiri adalah jenis partikel polusi tak kasat mata yang didasarkan pada ukurannya yang hanya mencapai 2,5 mikrometer. Saking kecilnya. PM 2.5 disebut bisa menembus masker yang kita pakai sehari-hari.
Menumpuknya PM 2.5 di paru-paru itu yang disebut bisa menyebabkan beragam penyakit hingga kematian pada manusia. PM 2.5 yang bersumber dari luar ruangan sendiri ada di polusi mobil, truk, bus, dan kendaraan bermotor lainnya.
Tak hanya itu, PM 2.5 juga bisa berasal dari pembakaran kayu, cerobong asap pabrik, minyak, batu bara, dan kebakaran hutan.
Sementara PM 2.5 yang bersumber dari dalam ruangan bisa berasal dari asap rokok, asap memasak, membakar lilin atau minyak lampu dan asap perapian.
Demikian berita ini dikutip dari CNNINDONESIA.COM untuk dapat kami sampaikan kepada pembaca sekalian.