Safenet dan AJI Komentari Dasar Hukum Pemblokiran Papua

0
173
Safenet dan AJI Komentari Dasar Hukum Pemblokiran PapuaIlustrasi blokir internet. (Foto: Pixabay.com)

LENSAPANDAWA.COM – Kuasa Hukum South East Asia Freedom of Expression Network (SAFEnet) Indonesia dan Aliansi Jurnalis Independen (AJI) mengatakan pemblokiran internet Papua pada 19 Agustus dan 21 Agustus atas kondisi darurat sesungguhnya didasari oleh Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang No 23 Tahun 1959 tentang Keadaan Bahaya.

Dalam aturan tersebut menegaskan pengumuman pernyataan atau penghapusan keadaan bahaya dilakukan Presiden bukan melalui siaran pers.

Pemerintah saat itu melakukan pemblokiran dan pembatasan akses internet karena kondisi darurat sebagai buntut masifnya hoaksĀ atau kabar bohong rusuh Papua. Pengumuman pemblokiran hanya dinyatakan melalui siaran pers dan keputusan pemblokiran tidak memiliki berita acara.

“Betul pemblokiran internet atas dasar kondisi darurat didasari Peraturan Pemerintah Pengganti Undang – Undang No 23 Tahun 195. Tapi melanggar hukum karena bukan Presiden yang mengatakan kondisi darurat dan tidak ada berita acara,” kata Kuasa Hukum SAFEnet dan AJI, Ade Wahyudin saat dihubungi CNNIndonesia.com, Senin (15/6).

Ade yang juga menjabat sebagai Direktur Eksekutif LBH Pers juga mengatakan pembatasan akses internet harus didasari oleh seberapa mendesak situasi darurat sehingga negara memutuskan untuk membatasi hak akses atas informasi.

Ade mengatakan apabila pemerintah akan melakukan pembatasan akses, maka pembatasan tersebut harus diumumkan oleh presiden dengan alasan yang jelas, bukan hanya sekadar siaran pers.

“Dalam keadaan tertentu negara berhak untuk membuat setiap hak dasar atau hak asasi manusia tapi tentu saja itu harus berdasarkan dengan ketentuan undang-undang dalam hal ini ada ketentuan Undang-Undang Darurat dan UUD 1945,” kata Ade.

Kebijakan ini dianggap maladministrasi dan melanggar hukum karena siaran pers hanya bersifat pemberitahuan sehingga tidak bisa dijadikan rujukan. Ade mengatakan pengumuman oleh presiden juga harus disebutkan berapa lama pemblokiran akan dilakukan dan wilayah cakupan pemblokiran.

Kemenkominfo, saat itu juga tidak menjelaskan sampai kapan pemblokiran akan dilakukan. Kementerian hanya mengatakan akan menghentikan pemblokiran apabila situasi sudah kondusif.

Terpisah, Ketua Umum AJI Abdul Manan menjelaskan pemblokiran internet ini merugikan banyak pihak. Bahkan juga turut merugikan hak dasar masyarakat untuk mengakses informasi yang telah dilindungi konstitusi. “Kita menganggap tindakan pemerintah memblokir internet dengan kebijakan yang tidak pantas itu hanya mengeluarkan siaran pers menurut saya itu sangat tidak pantas untuk sebuah kebijakan yang berdampak besar,” kata Abdul.

Abdul mengatakan sesungguhnya pemerintah harus memiliki argumen yang kuat untuk melakukan pemblokiran. Penyampaian argumen juga harus transparan agar masyarakat mengerti dan paham.

Oleh karena itu, gugatan ini juga merupakan cerminan tindakan masyarakat untuk mengoreksi kebijakan pemerintah yang terkesan semena-mena.

“Pemblokiran bukan tidak boleh dilakukan tapi kita ingin pemblokiran itu dilakukan dengan cukup akuntabel,” kata Abdul.

Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN) Jakarta memutus Presiden Joko Widodo dan Menteri Komunikasi dan Informatika Johnny G Plate melakukan perbuatan melawan hukum terkait pemblokiran atau pelambatan koneksi internet di Papua pada 2019.

Dalam sidang putusan, Majelis hakim PTUN menilai alasan Kemenkominfo menggunakan diskresi karena kekosongan hukum, juga tidak tepat.

Sebab, dalam kebijakan yang sifatnya membatasi HAM seperti dalam pembatasan pemblokiran internet ini hanya dibolehkan dengan undang-undang, bukan dengan aturan hukum lebih rendah dari itu.

Undang-undang yang bisa dipakai sebagai dasar untuk melakukan pembatasan hak, yaitu Undang Undang tentang Keadaan Bahaya tidak digunakan pemerintah dalam menangani penyebaran informasi hoaks rusuh Papua.

Hakim juga menilai pemutusan akses internet tidak sesuai dengan pengaturan pembatasan HAM yang diatur dalam Konstitusi dan sejumlah konvensi hak asasi manusia lainnya.

Majelis hakim PTUN juga menilai tindakan pemutusan akses internet ini menyalahi sejumlah ketentuan perundang-undangan.

Antara lain, Pasal 40 ayat (2a) dan (2b) Undang Undang Informasi dan Transaksi Elektronik, yang menjadi dasar hukum Kemenkominfo memperlambat dan memblokir internet.

Majelis hakim menilai, kewenangan yang diberikan dalam pasal tersebut hanya pada pemutusan akses atau memerintahkan kepada penyelenggara sistem elektronik melakukan pemutusan akses terhadap terhadap informasi elektronik dan atau dokumen elektronik yang “bermuatan melawan hukum”.

“Pemaknaan pembatasan hak atas internet yang dirumuskan dalam Pasal 40 ayat (2b) UU ITE hanya terhadap informasi elektronik dan atau dokumen elektronik yang memiliki muatan melanggar hukum dan tidak mencakup pemutusan akses jaringan internet,” kata majelis hakim dalam putusannya. (jnp/mik)

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here