Saran Ahli RI Hadapi Ancaman Gelombang Dua Corona

0
143
Saran Ahli RI Hadapi Ancaman Gelombang Dua CoronaIlustrasi ancaman gelombang kedua corona. (iStockphoto/BlackJack3D)

LENSAPANDAWA.COM – Epidemiolog Dicky Budiman menyatakan pemerintah harus tetap menegakkan aturan social distancing untuk mencegah gelombang kedua pandemi virus corona Covid-19. Hal ini dilakukan agar pemerintah tidak kebobolan menghadapi gelombang kedua pandemi.

Dicky menjelaskan pemerintah juga harus tetap mempertahankan sosialisasi agar masyarakat tetap mencuci tangan, memakai masker non medis, serta menghindari kerumunan orang yang sangat padat.

“Tetap memberlakukan jaga jarak, dan memakai masker non medis sangat penting,” ujar Dicky saat dihubungi CNNIndonesia.com, Selasa (28/4).


Dicky juga menjelaskan pemerintah harus tetap menyiagakan rumah sakit dan tenaga medis untuk mencegah gelombang kedua pandemi. Sebab ia menjelaskan dalam sejarah pandemi, jumlah kematian gelombang kedua lebih banyak karena ketidaksiapan fasilitas kesehatan.

Dicky mengatakan gelombang kedua dari pandemi kemungkinan  benar-benar tidak terhindarkan. Ia juga menyebut sejumlah indikator seperti isolasi terpusat hingga disiplin jaga jarak usai PSBB akan membantu melawan gelombang kedua.

Peningkatan cakupan testing juga harus dilakukan. Dicky menyarankan agar Indonesia melakukan 1 ribu tes PCR per 1 juta penduduk atau sejumlah 10 ribu tes per hari. Hal ini penting dilakukan agar pemerintah bisa mendapatkan gambaran jumlah orang yang terjangkit Covid-19.

Di satu sisi, Dicky mengatakan jumlah tes tersebut belum ideal, tapi bisa memberikan data awal untuk memberikan gambaran berapa persen penduduk yang sudah terinfeksi.

Oleh karena itu. Dicky mengatakan kapasitas tes harus terus ditingkatkan karena penyebaran Covid-19 akan semakin meluas.

“Selain memastikan siapnya kapasitas layanan kesehatan ICU, Ventilator, tempat tidur, SDM, APD. Juga terus meningkatkan cakupan testing, tracing dan isolasi terpusat,” ujar Dicky.

Di sisi lain, Dicky menuturkan gelombang kedua bisa terjadi karena social distancing yang diabaikan setelah penurunan grafik gelombang pertama.

Padahal gelombang kedua bisa terjadi apabila penduduk pada satu wilayah belum memiliki kekebalan kelompok (herd immunity) yang memenuhi syarat minimal adanya perlindungan terhadap epidemi Covid-19.

Di sisi lain, ia mengatakan kekebalan kelompok jauh di depan mata. WHO di sisi lain mengatakan baru tiga persen populasi global yang memiliki kekebalan.

Dicky mengatakan gelombang kedua bisa tidak terjadi apabila 40 sampai 50 persen sudah memiliki kekebalan.

“Kekebalan kelompok alami yang diharapkan terjadi setelah terinfeksi, perlu waktu lama sekali. Saat ini saja setelah empat bulan kurang lebih muncul Covid-19, secara global menurut WHO baru sekitar tiga persen populasi yang memiliki kekebalan,” kata Dicky.

Sebelumnya, ahli epidemiologi dari Universitas Indonesia, Pandu Riono menjelaskan social distancing maupun physical distancing memang harus dilakukan sampai 2022. Namun, batasan jarak fisik dan sosial yang ia maksud bukanlah lockdown, namun perubahan gaya hidup masyarakat untuk mengurangi risiko penularan Covid-19.

Perubahan gaya hidup masyarakat yang paling sederhana adalah mencuci tangan, memakai masker, hingga menghindari kerumunan orang yang sangat padat. 

Pernyataan Pandu ini menanggapi  peneliti dari Harvard T.H. Chan School of Public Health yang memprediksi kebijakan batasan jarak fisik mesti diperpanjang hingga 2022 karena obat dan vaksin tak kunjung ditemukan.

(jps/DAL)

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here