Ilustrasi STNK yang bisa dijadikan alat pembayaran. (Foto: Dok. Mabes Polri)
LENSAPANDAWA.COM – Korps Lalu Lintas Polri (Korlantas) Polri berencana mengubah fisik Surat Tanda Nomor Kendaraan (STNK) dari kertas menjadi kartu yang fungsinya tetap menjadi identitas kendaraan. STNK baru tersedia cip yang bisa menyimpan saldo untuk transaksi uang elektronik disebut akan berlaku pada 2021 Saldo.
Evolusi STNK sebagai alat pembayaran menyusul Smart SIM -sebagai data pengemudi diluncurkan pada September 2019, merupakan inovasi menyambut era digitalisasi. Namun layanan SIM sebagai alat pembayaran masih belum bisa digunakan lantaran menunggu persetujuan dari pihak Bank Indonesia. Finalisasi uang elektronik Smart SIM ini membutuhkan waktu enam bulan, sejak Juni 2019.
Pengamat kebijakan publik Agus Pambagio mengatakan terobosan Polri terkait fitur uang elektronik pada dua persyaratan mengemudi merupakan merupakan suatu kemunduran.
Sebab menurutnya fungsi kartu sudah mulai tergantikan dengan pembayaran sistem QR code yang tertanam dalam telepon pintar (smartphone). Ia memberi contoh keberadaan uang virtual Gopay, Ovo, LinkAja, hingga Dana.
“Di mana-mana itu sekarang sudah cashless fintech, tapi ya kita masih cetak kartu-kartu begitu. Pake fintech tinggal tempel HP ya selesai kan,” ujar Agus.
SIM dan STNK berbentuk kartu dan sebagai alat pembayaran diakui lebih ringkas serta memiliki sistem keamanan yang kuat. Namun lagi-lagi ide tersebut dinilai mubazir karena justru alat pembayaran virtual akan tren di masa depan.
Akhir Zaman Kartu Sebagai Alat Pembayaran
Ekonom Institute for Development of Economics and Finance (Indef) Bima Yudhistira menuturkan metode transaksi pembelian sedang mengalami transisi menuju digitalisasi melalui uang virtual.
Menurut Bima dalam beberapa tahun ke depan, metode pembayaran menggunakan uang tunai dan kartu fisik akan hilang, digantikan pembayaran virtual. Kondisi ini sudah mulai terjadi di beberapa kota negara di dunia.
Bank Indonesia sendiri mengizinkan dua tipe dompet digital (e-wallet), yaitu pertama produk layanan berbasis server (atau dana tersimpan dalam server) dan kedua dana tersimpan dalam cip kartu.
Teknologi cip yang ditanam dalam kartu dan menyimpan data dan dana konsumen umum dilakukan Flazz, e-Money. Sementara dompet digital Gopay, OVO, Dana dan lain menggunakan server untuk menyimpan data dan saldo konsumen.
Dua mode itu punya kelebihan dan kekurangan. Untuk kartu pembayaran berbasis cip, jika kartu hilang maka saldo dipastikan ikut hilang. Sementara kelebihannya tidak perlu akses internet untuk bertransaksi.
Sedangkan perusahaan yang menyimpan data-data di server, jika mendapati konsumennya kehilangan kartu maka saldo dipastikan aman. Namun kekurangan dompet digital ini perlu akses internet ketika melakukan transaksi pembayaran.
Untuk pembayaran berbasis server dengan quick response code (QR Code), BI sudah membuat standarisasi yang dinamakan QR Code Indonesian Standard (QRIS). Dengan QRIS, satu QRcode bisa dipakai bayar oleh berbagai platform, baik Gopay, Ovo, atau Dana.
Sejauh ini sejumlah masyarakat cukup menikmati pembayaran digital. Dan ini jumlahnya diprediksi akan terus membengkak mengingat kepercayaan masyarakat terhadap pembayaran digital terus meningkat.
Harus disadari kepolisian belum terbuka perihal dompet digital yang tertanam dalam Smart SIM dan STNK model baru. Kondisi ini masih menjadi tanda tanya karena menyangkut dana yang jumlahnya tidak sedikit.
Direktur Registrasi dan Identifikasi (Regident) Korlantas Polri Brigadir Jenderal Halim Pagarra yang dihubungi belum bisa menjawab pertanyaan CNNIndonesia.com.
Terlepas dari kecanggihan SIM dan STNK di masa depan yang mengutamakan kemudahan bertransaksi, Bima justru mempertanyakan urgensi SIM dan STNK menjadi perangkat pembayaran uang elektronik. Menurutnya serahkan tanggung jawab itu kepada bank-bank dan perusahaan layanan uang elektronik.
“Ya jadi agak kurang nyambung. Pembayaran sudah bertransformasi ke sistem digital seperti penggunaan smartphone dan biometric payment. Sementara pemerintah mau buat justru berbasiskan kartu fisik. Itu sama sekali tidak sinkron dengan masa depan pengembangan uang digital,” ucap Bima.
Dijelaskan Bima jika kondisinya memaksa, penggunaan uang elektronik dari SIM dan STNK ‘mungkin’ cocok untuk sejumlah pihak, misal sopir mobil pribadi, truk atau angkutan umum yang selalu berhubungan dengan kendaraan untuk mengantisipasi pembayaran tol, sedangkan pengendara lain cukup SIM dan STNK standar.
“Artinya STNK dan SIM sebagai alat pembayaran hanya tersegmentasi ke profesi tertentu, mungkin cocoknya untuk sopir truk atau angkutan [umum],” ucap Bima.
Agus melanjutkan memiliki banyak instrumen pembayaran justru membuat masyarakat ‘kerepotan’, terlebih jika kehilangan kartu tersebut. Contohnya ketika kehilangan Smart SIM yang diwacanakan bisa menyimpan saldo maksimal Rp2 juta. Dan kondisi ini menurut Bima menimbulkan masalah baru di tengah masyarakat.
“Bisa contoh Octopus Card atau Oyster Card di luar negeri di mana uang hilang dalam kartu akan diganti pihak penyelenggara. Jadi kalau SIMnya hilang, biaya pergantian SIM plus uangnya akan ditanggung kepolisian,” tutup Bima meyakini.
Demikian berita ini dikutip dari CNNINDONESIA.COM untuk dapat kami sampaikan kepada pembaca sekalian.