Tuntutan Tambah Subscriber dan Etika di Kasus Prank Yotuber

0
396
Tuntutan Tambah Subscriber dan Etika di Kasus Prank YotuberLogo Youtube. (Foto: Lionel BONAVENTURE / AFP)

LENSAPANDAWA.COM – YouTuber Ferdian Paleka telah ditetapkan sebagai tersangka kasus muatan penghinaan dalam video prank pembagian sembako berisi sampah kepada sekelompok waria atau transpuan.

Ia dijerat dengan pasal 45 ayat 3 Undang-undang Informasi dan Transaksi Elektronik (ITE) karena melanggar pasal 27 ayat 3. Ferdian melanggar pasal 27 ayat 3 karena konten yang ia buat memiliki muatan penghinaan.

Ferdian mengaku ia membuat konten prank tersebut demi meningkatkan jumlah pengikut atau subscriber di kanal Youtube miliknya. Tak hanya Ferdian, di YouTube berseliweran konten-konten prank. Mulai dari prank yang receh hingga prank yang bisa dianggap tidak etis.

Pengamat budaya dan komunikasi digital dari Universitas Indonesia, Firman Kurniawan mengatakan prank diproduksi (supply) oleh para YouTuber karena terdapat permintaan (demand) dalam jagad hiburan melalui media sosial.

“Dalam dunia hiburan, termasuk yang bermedium Youtube juga berlaku hukum supply dan demand. Supply kadar prank yang naik, didorong oleh demand prank berkadar tinggi,” kata Firman saat dihubungi CNNIndonesia.com, Kamis (14/5).

Firman mengatakan dari waktu ke waktu, konten berisi prank memang terus meningkat. Prank dianggap sebagai sebuah kreativitas untuk memuaskan rasa dahaga audiens terhadap sebuah hiburan.

“Diperlukan kreativitas terus-menerus menciptakan kebaruan,” kata Firman.

Firman menjelaskan audiens selalu menuntut sebuah konten hiburan yang baru karena audiens akan kebal dengan konten yang monoton. Sehingga muncul istilah apa yang menarik di masa lalu, hari ini sudah bukan hiburan lagi.

Terlebih ketika produksi dan distribusi informasi melalui media digital yang diiringi oleh intesitas. Sesuatu yang baru hari ini, jadi usang esok hari.

Pencarian kreativitas ini justru menabrak keetisan sebuah konten. Firman mengatakan tak semua orang paham paham bahwa menghina transgender berarti menghina kemanusiaan. Sehingga produksi prank tak etis itu sempat lolos sebelum terhenti akibat kemarahan masyarakat.

Firman mengatakan konten prank dibuat Ferdian untuk merebut perhatian audiens di jagad digital. Terjadi sebuah persaingan sengit di antara pembuat konten untuk meraih guyuran like, retweet, reposting, traffic, hingga tercapainya trending topic.

Semua hal tersebut adalah sebuah ukuran kuantitatif  yang bermuara pada perolehan iklan atau monetisasi media sosial.

Tutup Mata Terhadap Etika

Sayangnya dalam proses persaingan terjadi sistem trial and error atau pembuat konten melakukan cek ombak konten yang diminati audiens.

Kreator melempar dulu konten ke konsumen, dan menanti reaksi dari audiens. Telah terjadi sebuah negosiasi virtual, termasuk pada konten yang kandungannya tak etis.

“Dalam prosesnya, tak berarti hanya yang baik saja yang bakal diterima. Konten yang buruk pun, sering lolos seolah jadi selera masyarakat. Ada masalah terkait pemahaman etika,” tutur Firman.

Firman sebelumnya mengatakan prank tak etis muncul ketika pembuat konten berlomba-lomba berkreasi membuat konten untuk menggaet perhatian audiens dan subscribers.

Sayangnya untuk membangun kreativitas tidak semua orang paham batas etika. Firman menjelaskan etika adalah pedoman baik dan buruk perilaku yang sifatnya universal.

“Dilema-dilema etika inilah yang sering ditabrak, lantaran inginkan konten dengan daya tarik baru. Nampak, apapun dilakukan demi konten,” kata Firman.

Dihubungi terpisah, Ketua Paguyuban Korban UU ITE (PAKU ITE), Muhammad Arsyad mengatakan aksi pembagian sampah oleh Ferdian memang melanggar beleid ITE.

Arsyad menjelaskan perbuatan Ferdian membagikan sampah berkedok bantuan sosial sangat tidak manusiawi dan mengandung unsur penghinaan seperti yang tercantum dalam pasal 27 ayat 3 UU ITE.

Selain itu, Arsyad juga mengatakan konten-konten berisi prank bisa rentan terjerat tindak pidana karena korban bisa mengadukan perbuatan tidak menyenangkan, pencemaran nama baik, hingga penghinaan.

“Konten-konten prank punya dampak tindak pidana karena korban bisa mengadukan dengan perbuatan tidak menyenangkan, pencemaran atau pun penghinaan,” kata Arsyad.

Di sisi lain, Arsyad menyinggung pasal karet UU ITE dalam pasal 27 dan 28. Ia mengatakan aturan dianggap tidak memiliki batasan dan definisi yang jelas.

Sehingga bisa diartikan sesuai dengan keinginan penafsir atau pelapor. Oleh karena itu, Arsyad mengatakan pasal itu sebaiknya dijadikan delik perdata untuk menyeimbangkan pelapor dan terlapor.

“Masuk ke ranah perdata supaya ada penyeimbangan hak pelapor dan terlapor. Sehingga mereka bisa saling membuktikan apa maksud dan tujuan saling memposting konten negatif itu,” kata Arsyad.

Sebelumnya, aksi Ferdian cs dilakukan pada Jumat (1/5). Para tersangka menyasar para transgender di pinggir Jalan Ibrahim Adjie, Kecamatan Kiaracondong, Kota Bandung.

Ketika itu, Ferdian dan Tubagus memberikan ‘bansos’ yang di dalamnya berisi batu dan sampah kepada transpuan. Sedangkan, Aidil bertugas merekam adegan pemberian bansos tersebut dengan kamera.

Berikutnya, pada Minggu (3/5), para pelaku mengunggah video prank itu ke chanel Youtube Ferdian Paleka. Atas kejadian tersebut, salah satu korbannya Dhani Rizky merasa malu, terhina, dan tercemarkan nama baiknya. Dia melaporkan Ferdian ke polisi.

Sehari setelahnya, Satreskrim Polrestabes Bandung melakukan penangkapan dan dilakukan penahanan terhadap Tubagus.

Selanjutnya, pada Jumat (8/5) tim gabungan dari Resmob Polda Jawa Barat beserta dengan Resmob Satreskrim Polrestabes Bandung melakukan penangkapan terhadap Ferdiansyah alias Ferdian Paleka dan M Aidil untuk selanjutnya ditahan di ruang tahanan Polrestabes Bandung.

(jnp/DAL)

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here