JAKARTA – Minimnya literasi atau minat baca, ditambah luas Indonesia seringkali tidak semua masyarakat tahu apa yang telah berhasil diraih oleh Indonesia dengan segala kelebihan dan kekuarangannya. Termasuk ketika United Nations Educational, Scientific and Cultural Organization (UNESCO) pada pertemuan Komite Warisan Dunia di Kota Baku, Azerbaijan, Sabtu, 6 Juli 2019 telah menetapkan Tambang Batu Bara Ombilin (TBBO) Sawahlunto, di Sumatera Barat sebagai salah satu situs warisan dunia. Penetapan ini harus menjadi modal dasar dalam pengembangan pariwisata di Sawahlunto. Terkait hal ini, media mewawancarai Pakar Kepariwisataan Indonesia Dede Farhan Aulawi di Jakarta, Kamis (27/2).
Ketua Umum Para Pegiat Ragam Wisata Nusantara (Prawita) Dede Farhan Aulawi menyampaikan bahwa Prawita sebagai lokomotif Gerakan Nasional Pecinta Pariwisata Indonesia harus duduk bersama dalam meracik dan merumuskan strategi promosi agar wisata sejarah dan budaya bekas tambang batu bara Sawahlunto ini semakin dikenal luas, baik oleh wisatawan nusantara maupun wisatawan manca negara.
Senajutnya Dede juga menjelaskan bahwa penetapan UNESCO di atas jangan hanya dilihat dari kelayakan administratif saja, tetapi juga merupakan satu bentuk pengakuan dunia internasional atas kemampuan Indonesia mengelola situs cagar budaya. Bahkan the International Council of Monuments and Sites (ICOMOS) dengan tegas juga mengatakan, bahwa situs Ombilin Sawahlunto sangat pantas menjadi warisan dunia karena memiliki nilai-nilai universal yang menonjol (outstanding universal value), sehingga eksistensinya pun memiliki signifikansi bagi umat manusia.
Situs ini juga mengingatkan Indonesia, bahwa inovasi teknologi pertambangan pertama di Asia Tenggara, yaitu teknik penambangan bawah tanah untuk mengambil bijih batubara berkualitas super di kedalaman 40 – 100 meter di bawah tanah telah terjadi di Indonesia. Dan kini terowongan bekas tambang ini, menjadi “Museum Lubang Tambang Mbah Soero”. Namu ini diambil karena beliau merupakan salah seorang penambang yang sangat disegani. Di sanalah saksi bisa perjuangan kelas buruh yang bermandikan keringat, air mata dan darah bersatu padu menopang semangat juang meraih kemerdekaan.
Dengan kaki terantai kuat, di masa penajjahan Belanda mereka dipaksa menambang batubara dengan upah yang sangat rendah. Oleh karena itu, para pekerja (tawanan) tambang ini, sering disebut “orang rantai”. Sampai saat ini pun sebenarnya kandungan batubaranya masih ada.
“ Dari rangkaian nilai hstorisnya, maka sangat wajar sekali jika tempat ini sudah ditetapkan oleh UNESCO sebagai situs cagar budaya. Tinggal bagaimana seluruh para pegiat pariwisata Indonesia turut serta mensosialisasikan dan mempromosikannya. Ini sangat penting sekali, karena sektor pariwisata bisa menjadi trigger ekonomi sektor lainnya “, ujar Dede menutup percakapan. (FPRN)