Kapal perintis KM Entebee Express yang melayani rute pelayaran tol laut ke sejumlah wilayah di Sulbar dan Kaltim saat bersandar di Pelabuhan TPI Mamuju, Sulbar, Selasa (28/5/2019). ANTARA/Amirullah/aa
LENSAPANDAWA.COM – Lembaga Penyelidikan Ekonomi dan Masyarakat (LPEM) Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Indonesia (FEB UI) menyebut manfaat ekonomi atas program tol laut sebagian besar baru dinikmati pelaku usaha dan perbaikan disparitas harga belum sepenuhnya dirasakan masyarakat.
"Efektivitas tol laut baru sebatas memangkas biaya pengiriman antarpulau 30-50 persen lebih murah dibanding kapal komersial," kata Peneliti LPEM FEB UI M Halley Yudhistira di Jakarta, Rabu.
Ia menuturkan kendala utama efektivitas tol laut yang rendah itu karena muatan balik yang sering kosong, jadwal kedatangan yang tidak teratur hingga transparansi kuota dan prioritas muatan.
Yudhistira juga mengkritisi program tol laut yang tidak diikuti dengan efisiensi ongkos distribusi barang dari daerah pelabuhan ke daerah hinterland (daerah pemasok).
"Ketika tol laut digaungkan ingin mendorong penurunan harga, meningkatkan kesejahteraan masyarakat, tapi hanya touch in kepada port to port. Kurang bisa touch in bagaimana dia sampai ke masyarakat. Masyarakat kan beli di toko, bukan di pelabuhan,” ujarnya.
Yudhistira juga menuturkan di beberapa daerah, pasar masih dikuasai segelintir distributor sehingga persaingan usaha kurang kompetitif dan harga sulit turun.
"Ada oligopoli, ada permainan dari pemain, jadi meski harga logistik turun, tapi karena dia tidak punya lawan, dia tidak menurunkan harga signifikan," imbuhnya.
Ia menambahkan jalur tol laut yang terlalu panjang juga telah membuat program tersebut tidak menarik bagi pasar. Pasalnya, kondisi tersebut membuat arus barang tidak optimal sehingga penurunan harga yang jadi tujuan sulit tercapai.
Selanjutnya, program tol laut juga diharapkan bisa dilengkapi dengan pembangunan infrastruktur pendukung yang baik agar biaya logistik bisa ditekan. Kolaborasi dengan pelayaran rakyat juga dibutuhkan agar program tersebut lebih optimal masuk ke wilayah-wilayah sasaran.
Dalam kesempatan yang sama, Kepala Riset Ekonomi Samudera Indonesia Ibrahim Kholilul Rohman menjelaskan meski operator kerap dianggap menikmati dampak ekonomi tol laut, namun angkutan laut bukanlah penyumbang terbesar dalam biaya logistik.
Ia juga menegaskan transportasi laut tidak bisa antara wilayah satu dengan yang lainnya karena perbedaan jarak, jenis kargo hingga kompleksitas layanan juga sangat berpengaruh.
"Jadi tidak seragam, tidak linier dan tidak homogen. Freight rate itu kadang dominan, kadang tidak, tapi tendensinya untuk kontainer lebih kecil dibandingkan bulk,” katanya.
Ibrahim menambahkan terminal handling charger (THC) juga dinilai kontradiktif dengan visi pemerintah untuk menurunkan biaya logistik, sehingga dapat menekan disparitas harga antara wilayah barat dan timur.
"THC ini mau kontainer kosong, penuh atau setengah penuh, tetap harus bayar penuh. Ini kontradiktif dengan menurunkan biaya logistik. Kalau ada upaya pemerintah dukung logistik domestik berkembang, THC bisa disesuaikan," katanya.
Demikian berita ini dikutip dari ANTARANEWS.COM untuk dapat kami sampaikan kepada pembaca sekalian.